Sudahbanyak orang yang tahu legenda “Ciung Wanara”, cerita yang merakyat di kalangan masyarakat Indonesia, sebuah legenda dari tanah Sunda yang sudah beberapa kali di angkat ke layar kaca. Namun tak banyak orang yang tahu dimana legenda itu terjadi, bahkan beberapa beranggapan itu hanya mitos tanpa bukti.
Ciung Wanara aksara Sunda ᮎᮤᮅᮀ ᮝᮔᮛ adalah legenda di kalangan orang Sunda di Indonesia. Cerita rakyat ini menceritakan legenda Kerajaan Sunda Galuh, asal muasal nama Sungai Pemali serta menggambarkan hubungan budaya antara orang Sunda dan Jawa yang tinggal di bagian barat provinsi Jawa Tengah.[1][2] Ciung WanaraPrabu SurotamaRaja Kerajaan GaluhBerkuasa739 – 783PendahuluTamperan BarmawijayaPenerusGuruminda Sang MinisriInformasi pribadiKelahiranManarah[butuh rujukan]718Kematian798Nama takhtaPrabu Jayaprakosa Mandaleswara SalakabuanaAyahPermana DikusumahIbuNaganingrumPasanganKancanawangi Sumber Cerita ini berasal dari tradisi cerita lisan Sunda yang disebut Pantun Sunda,[3] yang kemudian dituliskan ke dalam buku yang ditulis oleh beberapa penulis Sunda, baik dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia.[4] Ringkasan Turunnya sang raja Dahulu berdirilah sebuah kerajaan besar di pulau Jawa yang disebut Kerajaan Galuh, ibu kotanya terletak di Galuh dekat Ciamis sekarang. Dipercaya bahwa pada saat itu kerajaan Galuh membentang dari Hujung Kulon, ujung Barat Jawa, sampai ke Hujung Galuh "Ujung Galuh", yang saat ini adalah muara dari Sungai Brantas di dekat Surabaya sekarang. Kerajaan ini diperintah oleh Raja Prabu Permana Di Kusumah. Setelah memerintah dalam waktu yang lama Raja memutuskan untuk menjadi seorang pertapa dan karena itu ia memanggil menteri Aria Kebonan ke istana. Selain itu, Aria Kebonan juga telah datang kepada raja untuk membawa laporan tentang kerajaan. Sementara ia menunggu di depan pendapa, ia melihat pelayan sibuk mondar-mandir, mengatur segalanya untuk raja. Menteri itu berpikir betapa senangnya akan menjadi raja. Setiap perintah dipatuhi, setiap keinginan terpenuhi. Karena itu ia pun ingin menjadi raja. Saat ia sedang melamun di sana, raja memanggilnya. "Aria Kebonan, apakah benar bahwa Engkau ingin menjadi raja?" Raja tahu itu karena ia diberkahi dengan kekuatan supranatural. "Tidak, Yang Mulia, aku tidak akan bisa." "Jangan berbohong, Aria Kebonan, aku tahu itu." "Maaf, Yang Mulia, Saya baru saja memikirkannya." "Yah, Aku akan membuat engkau menjadi raja Selama Aku pergi untuk bermeditasi, Engkau akan menjadi raja dan memerintah dengan benar. Engkau tidak akan memperlakukan tidur dengan kedua istriku, Dewi Pangrenyep dan Dewi Naganingrum sebagai istrimu." "Baiklah, Yang Mulia." "Aku akan mengubah penampilanmu menjadi seorang pria tampan. Nama Anda akan Prabu Barma Wijaya. Beritahulah pada orang-orang bahwa raja telah menjadi muda dan Aku sendiri akan pergi ke suatu tempat rahasia. Dengan demikian engkau akan menjadi raja!" Pada saat penampilan Aria Kebonan menyerupai Prabu Permana di Kusumah itu, tetapi tampak sepuluh tahun lebih muda. Orang percaya pengumuman bahwa ia adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah yang telah menjadi sepuluh tahun lebih muda dan mengubah namanya menjadi Prabu Barma Wijaya. Hanya satu orang tidak percaya ceritanya. Ia adalah Uwa Batara lengser yang mengetahui perjanjian antara raja dan menteri tersebut. Prabu Barma Wijaya menjadi bangga dan mempermalukan Uwa Batara lengser yang tidak dapat melakukan apa-apa. Dia juga memperlakukan kedua ratu dengan kasar. Keduanya menghindarinya, kecuali di depan umum ketika mereka berperilaku seolah-olah mereka istri Prabu Barma Wijaya. Kelahiran dua pangeran Suatu malam kedua ratu bermimpi bahwa bulan jatuh di atas mereka. Mereka melaporkan hal itu kepada raja yang membuatnya ketakutan, karena mimpi tersebut biasanya peringatan bagi wanita yang akan hamil. Hal ini tidak mungkin karena ia tidak bersalah memperlakukan kedua ratu sebagai istri-istrinya. Uwa Batara lengser muncul dan mengusulkan untuk mengundang seorang pertapa baru, yang disebut Ajar Sukaresi - yang tidak lain adalah Raja Prabu Permana Di Kusumah - untuk menjelaskan mimpi yang aneh tersebut. Prabu Barma Wijaya setuju, dan begitu pertapa tiba di istana ia ditanya oleh raja tentang arti mimpi itu. "Kedua ratu mengharapkan seorang anak, Yang Mulia." Meskipun terkejut dengan jawabannya, Prabu Barma Wijaya masih bisa mengendalikan diri. Ingin tahu seberapa jauh pertapa berani berbohong kepada dia, dia mengajukan pertanyaan lain. "Apakah mereka akan anak perempuan atau anak laki-laki?" "Keduanya anak laki-laki, Yang Mulia." Pada hal ini raja tidak bisa lagi menahan diri, mengambil kerisnya dan menusuk Ajar Sukaresi agar dia mati namun Dia gagal. Keris itu bengkok. "Apakah Raja berkehendak aku mati? Bila begitu, saya akan mati." Kemudian pertapa itu jatuh. Raja menendang mayatnya begitu hebat sehingga terlempar ke dalam hutan di mana ia berubah menjadi seekor naga besar, yang disebut Nagawiru. Di keraton, sesuatu yang aneh terjadi. Kedua ratu memang hamil. Setelah beberapa waktu Dewi Pangrenyep melahirkan seorang putra yang bernama Hariang Banga. Suatu hari ketika Prabu Barma Wijaya mengunjungi Dewi Naganingrum, secara ajaib janin dalam kandungan Naganingrum yang belum lahir tersebut berbicara "Barma Wijaya, Engkau telah melupakan banyak janjimu. Semakin banyak Anda melakukan hal-hal kejam, kekuasaan Anda akan semakin pendek.." Rencana jahat Peristiwa aneh janin yang dapat berbicara tersebut membuat Raja sangat marah dan takut terhadap ancaman janin tersebut. Dia ingin menyingkirkan janin itu dan segera menemukan cara untuk melakukannya. Dia meminta bantuan Dewi Pangrenyep untuk dapat terlepas dari bayi Dewi Naganingrum yang akan lahir sebagai bajingan menurut impiannya. Dia tidak akan cocok untuk menjadi penguasa negeri ini bersama-sama dengan Hariang Banga, putra Dewi Pangrenyep. Ratu percaya hal tersebut dan setuju, tetapi apa yang harus dilakukan? "Kita akan menukar bayi tersebut dengan anjing dan melemparkannya ke sungai Citanduy." Sebelum melahirkan, Dewi Pangrenyep menghimbau Dewi Naganingrum untuk menutupi matanya dengan malam lilin yang biasanya digunakan untuk membatik. Dia berpendapat bahwa perlakuan ini adalah untuk menghindarkan ibu yang sedang melahirkan agar tidak melihat terlalu banyak darah yang mungkin dapat membuat dia pingsan. Naganingrum setuju dan Pangrenyep pun menutup mata Dewi Naganingrum dengan lilin, berpura-pura membantu ratu malang tersebut. Naganingrum tidak menyadari apa yang terjadi, bayi yang baru lahir itu dimasukkan ke dalam keranjang dan dilemparkan ke dalam Sungai Citanduy, setelah ditukar dengan bayi anjing yang dibaringkan di pangkuan sang ibu yang tidak curiga akan perbuatan jahat tersebut. Ratu Naganingrum segera menyadari bahwa ia tengah menggendong seekor bayi anjing, ia sangat terkejut dan jatuh sedih. Kedua pelaku kejahatan berusaha menyingkirkan Dewi Naganingrum dari istana dengan mengatakan kebohongan kepada rakyat, tetapi tidak ada yang percaya kepada mereka. Bahkan Uwa Batara lengser tak dapat melakukan apa-apa karena Raja serta Ratu Dewi Pangrenyep sangat berkuasa. Barma Wijaya bahkan memerintahkan hukuman mati atas Dewi Naganingrum karena dia telah melahirkan seekor anjing, yang dianggap sebagai kutukan dari para dewa dan aib bagi kerajaan. Uwa Batara lengser mendapat perintah untuk melaksanakan eksekusi tersebut. Dia membawa ratu yang malang ke hutan, namun dia tak sampai hati membunuhnya, ia bahkan membangunkan sebuah gubuk yang baik untuknya. Untuk meyakinkan Raja dan Ratu Pangrenyep bahwa ia telah melakukan perintah mereka, ia menunjukkan kepada mereka pakaian Dewi Naganingrum yang berlumuran darah. Sabung ayam Di desa Geger Sunten, tepian sungai Citanduy, hiduplah sepasang suami istri tua yang biasa memasang bubu keramba perangkap ikan yang terbuat dari bambu di sungai untuk menangkap ikan. Suatu pagi mereka pergi ke sungai untuk mengambil ikan yang terperangkap di dalam bubu, dan sangat terkejut bukannya menemukan ikan melainkan keranjang yang tersangkut pada bubu tersebut. Setelah membukanya, mereka menemukan bayi yang menggemaskan. Mereka membawa pulang bayi tersebut, merawatnya dan menyayanginya seperti anak mereka sendiri. Dengan berlalunya waktu bayi tumbuh menjadi seorang pemuda rupawan yang menemani berburu orang tua dalam hutan. Suatu hari mereka melihat seekor burung dan monyet. "Burung dan monyet apakah itu, Ayah?" "Burung itu disebut Ciung dan monyet itu adalah Wanara, anakku." "Kalau begitu, panggillah aku Ciung Wanara." Orang tua itu menyetujui karena arti kedua kata tersebut cocok dengan karakter anak itu. Suatu hari ia bertanya pada orang tuanya mengapa dia berbeda dengan anak laki-laki lain dari desa tersebut dan mengapa mereka sangat menghormatinya. Kemudian orang tua itu mengatakan kepadanya bahwa ia telah terbawa arus sungai ke desat tersebut dalam sebuah keranjang dan bukan anak dari desa tersebut. "Orangtuamu pasti bangsawan dari Galuh." "Kalau begitu, aku harus pergi ke sana untuk mencari orang tua kandungku, Ayah." "Itu benar, tetapi kamu harus pergi dengan seorang teman. Di keranjang itu ada telur. Ambillah, pergilah ke hutan dan carilah unggas untuk menetaskan telur itu." Ciung Wanara mengambil telur itu, pergi ke hutan seperti yang diperintahkan oleh sang orang tua, tetapi ia tidak dapat menemukan unggas. Ia menemukan Nagawiru yang baik, kepadanya ia meminta untuk menetaskan telur. Dia meletakkan telur di bawah naga itu dan tak lama setelah menetas, anak ayam tumbuh dengan cepat. Ciung Wanara memasukkannya ke dalam keranjang, meninggalkan orang tua dan istrinya dan memulai perjalanannya ke Galuh. Di ibu kota Galuh, sabung ayam adalah sebuah acara olahraga besar, baik raja dan rakyatnya menyukainya. Raja Barma Wijaya memiliki ayam jago yang besar dan tak terkalahkan bernama Si Jeling. Dalam kesombongannya, ia menyatakan bahwa ia akan mengabulkan keinginan apapun kepada pemilik ayam yang bisa mengalahkan ayam juaranya. Saat tiba, anak ayam Ciung Wanara sudah tumbuh menjadi ayam petarung yang kuat. Sementara Ciung Wanara sedang mencari pemilik keranjang, ia ikut ambil bagian dalam turnamen adu ayam kerajaan. Ayamnya tidak pernah kalah. Kabar tentang anak muda yang ayam jantannya selalu menang di sabung ayam akhirnya mencapai telinga Prabu Barma Wijaya yang kemudian memerintahkan Uwa Batara lengser untuk menemukan pemuda itu. Orang tua itu segera menyadari bahwa pemuda pemilik ayam itu adalah putra Dewi Naganingrum yang telah lama hilang, terutama ketika Ciung Wanara menunjukkan padanya keranjang di mana ia telah dihanyutkan ke sungai. Uwa Batara Lengser mengatakan pada Ciung Wanara bahwa raja telah memerintahkan hal tersebut selain menuduh ibunya telah melahirkan seekor anjing. "Jika ayam kamu menang melawan ayam raja, mintalah saja kepadanya setengah dari kerajaan sebagai hadiah kemenangan kamu." Keesokan paginya Ciung Wanara muncul di depan Prabu Barma Wijaya dan menceritakan apa yang telah diusulkan Lengser. Raja setuju karena dia yakin akan kemenangan ayam jantannya yang disebut Si Jeling. Si Jeling sedikit lebih besar dari ayam jago Ciung Wanara, namun ayam Ciung Wanara lebih kuat karena dierami oleh Naga Nagawiru. Dalam pertarungan berdarah ini, ayam sang Raja kehilangan nyawanya dan raja terpaksa memenuhi janjinya untuk memberikan Ciung Wanara setengah dari kerajaannya. Perang saudara Ciung Wanara menjadi raja dari setengah kerajaan dan membangun penjara besi yang dibangun untuk mengurung orang-orang jahat. Ciung Wanara merencanakan siasat untuk menghukum Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep. Suatu hari Prabu Barma Jaya dan Dewi Pangrenyep diundang oleh Ciung Wanara untuk datang dan memeriksa penjara yang baru dibangun. Ketika mereka berada di dalam, Ciung Wanara menutup pintu dan mengunci mereka di dalam. Dia kemudian memberitahu orang-orang di kerajaan tentang perbuatan jahat Barma dan Pangrenyep, orang-orang pun bersorak. Namun, Hariang Banga, putera Dewi Pangrenyep, menjadi sedih mengetahui tentang penangkapan ibunya. Ia menyusun rencana pemberontakan, mengumpulkan banyak tentara dan memimpin perang melawan adiknya. Dalam pertempuran, ia menyerang Ciung Wanara dan para pengikutnya. Ciung Wanara dan Hariang Banga adalah pangeran yang kuat dan berkeahlian tinggi dalam seni bela diri pencak silat. Namun Ciung Wanara berhasil mendorong Hariang Banga ke tepian Sungai Brebes. Pertempuran terus berlangsung tanpa ada yang menang. Tiba-tiba munculah Raja Prabu Permana Di Kusumah didampingi oleh Ratu Dewi Naganingrum dan Uwa Batara lengser. "Hariang Banga dan Ciung Wanara!" kata Raja, "Hentikan pertempuran, ini adalah pamali "tabu" atau "dilarang" dalam bahasa Sunda dan Jawa - berperang melawan saudara sendiri. Kalian adalah saudara, kalian berdua adalah anak-anakku yang akan memerintah di negeri ini, Ciung Wanara di Galuh dan Hariang Banga di timur sungai Brebes, negara baru. Semoga sungai ini menjadi batas dan mengubah namanya dari Sungai Brebes menjadi Sungai pamali untuk mengingatkan kalian berdua bahwa adalah pamali untuk memerangi saudara sendiri. Biarlah Dewi Pangrenyep dan Barma Wijaya yang dahulu adalah Aria Kebonan dipenjara karena dosa mereka." Sejak itu nama sungai ini dikenal sebagai Cipamali Bahasa Sunda atau Kali Pemali Bahasa Jawa yang berarti "Sungai Pamali". Hariang Banga pindah ke timur dan dikenal sebagai Jaka Susuruh. Dia mendirikan kerajaan Jawa dan menjadi raja Jawa, dan pengikutnya yang setia menjadi nenek moyang orang Jawa. Ciung Wanara memerintah kerajaan Galuh dengan adil, rakyatnya adalah orang Sunda, sejak itu Galuh dan Jawa makmur lagi seperti pada zaman Prabu Permana Di Kusumah. Saat kembali menuju ke barat, Ciung Wanara menyanyikan legenda ini dalam bentuk Pantun Sunda, sementara kakaknya menuju ke timur dengan melakukan hal yang sama, menyanyikan cerita bersejarah ini dalam bentuk tembang. Interpretasi Legenda ini adalah cerita rakyat Sunda untuk menjelaskan asal nama Sungai Pamali, serta untuk menjelaskan asal usul hubungan orang Sunda dengan orang Jawa; tentang dua bersaudara yang bersaing dan memerintah di pulau yang sama. Dari cerita ini jelas terlihat bahwa kerajaan Sunda Kerajaan Galuh lebih tua atau lebih awal berdiri dari kerajaan yang didirikan di wilayah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Hal tersebut diperkuat dengan fakta sejarah bahwa kerajaan tertua di Jawa memang terletak di tatar Sunda, yaitu kerajaan Salakanagara. Namun jika menilik dari silsilah persaudaraan keduanya Hariang Banga dengan Ciung Wanara maka dapat disimpulkan bahwa orang Jawa Yang berasal dari Hariang Banga bersama pengikutnya merupakan saudara yang lebih tua dari orang Sunda Yang berasal dari Ciung Wanara bersama pengikutnya, dan orang Sunda menerima hal tersebut. Warisan sejarah Pahlawan nasional Indonesia dari Bali, I Gusti Ngurah Rai membentuk pasukan kecil yang dinamainya Pasukan Ciung Wanara di mana pasukan ini bertujuan untuk menghalau pengaruh Belanda di Bali untuk membentuk Negara Indonesia Timur setelah disetujuinya Perjanjian Linggarjati dan mengembalikan Bali dibawah kendali pemerintahan Indonesia. Pasukan Ciung Wanara yang jumlahnya tidak lebih dari 100 personil ini seluruhnya gugur dalam pertempuran Puputan Margarana melawan pasukan NICA Belanda di Tabanan pada November 1946. Lihat pula Sastra Sunda Pranala luar Referensi ^ Indonesia Ensiklopedi Sunda Alam, Manusia dan Budaya termasuk Budaya Cirebonan dan Betawi. PT Dunia Pustaka Jaya. Jakarta 2000. ^ Indonesiaciung wanara diaksés tanggal 27 Oktober 2011 ^ Tamsyah, Budi Rahayu 1999. Kamus Istilah Tata Basa jeung Sastra Sunda. Pustaka Setia. hlm. 175–176. ^ Noorduyn, J. 2006. Three Old Sundanese poems. KITLV Press.
CeritaLegenda, Villa dan Hotel di Jalan Ciung Wanara Bandung. On Jul 24, 2017. Ciung Wanara Bandung – Indonesia yang mempunyai banyak sekali suku adat dan budaya, memiliki bahasan cerita rakyat yang teramat banyak. Dari satu daerah dalam satu desa saja, logat bahasa dan kebiasaan keseharian sudah berbeda. Hal-hal seperti inilah yang
[Historiana] - Ciung Wanara merupakan sebuah carita pantun. Dalain hasil penelitiannya, Eringa 1949 menyebut adanya lakon ini. Cerita Ciung Wanara dikenal luas di kalangan masyarakat Sunda. Penyebarannya yang sudah demikian lama secara lisan, memungkinkan terjadinya beberapa cerita yang berbeda. Pleyte 1922/1923 pernah menerbitkan sebuah teks cerita itu. Rusyana 1966 memetik teks "Caritana Ciung Wanara" dan Almanak Sunda 1923. Berdasarkan teks Pleyte itu Salmun 1938 menggubah cerita Ciung Wanara dalam bentuk wawacan. Di samping itu, ia memetik pula bagian awal teks itu dalam Kandaga Bacaan 1956 bunga rampai bacaan bagi murid-murid sekolah menengah. Sandiwara-sandiwara rakyat sering pula mementaskan lakon ini. Tahun 1939 perkumpulan kesenian Sekar Pakuan mementaskan lakon Ciung Wanara di Surakarta. Rosidi menggubah lakon pantun ini dalam bahasa Indonesia. Proyek Penelitian Pantun dan Folklore Sunda 1973 menerbitkan cerita pantun Ciung Wanara berdasarkan hasil rekaman Juru pantun Ki Subarma, dari Ciwidey, Kabupaten Bandung, Rekaman dari juru pantun Ki tjeng Tamadipura Situraja, Sumedang tidak dapat diterbitkan karena terdapat kerusakan pada sebagian rekaman. Seorang juru pantun lain yang biasa menuturkan lakon ini ialah Ki Enjum, dari Ujungberung, Kabupaten Bandung. Dalam menolak pendapat bahwa cerita-cerita pantun lahir mulai zaman Pajajaran, Rosidi 1966 antara lain menunjuk cerita pantun Ciung Wanara, yang menceritakan Kerajaan Galuh jauh sebelum Pajajaran. Kartini dkk. 1980 memilih lakon ini sebagai salah satu sampel dalam penelitiannya mengenai struktur cerita pantun. Rusyana 19663 memperkirakan cerita ini berasal dari masa kerajaan Galuh abad ke-8 hingga ke-13, dan sudah disebut juga dalam naskah Carjta Waruga Guru. Perbandingan atas jalan cerita dan nama-nama tokoh, menyimpulkan bahwa lakon ini banyak persamaannya dengan sebuah bagian dan Wawacan Sajarah Galuh, Carjos Wiwitan Raja-raja di Pulo Jawa, dan Sajarah Cijulang. Ringkasan cerita berikut ini berdasarkan edisi Pleyte. Negara Galih Pakuan masih sangat sedikit penghuninya, kebanyakan orang halus. Rajanya bernama Sang Permana di Kusumah, yang mempunyai permaisuri Pohaci Naganingrum dan Dewi Pangrenyep. Tersebut salah seorang pembesarnya, bernama Mantri Anom Aria Kebonan, yang sangat menginginkan kedudukan raja karena tampaknya demikian menyenangkan. Sang raja mengetahui hal itu maka kerajaan pun segera diserahkannya dengan perjanjian bahwa kedua permaisurinya jangan diganggu. Setelah penyerahan itu, ia tiba-tiba menghilang, yang sebenarnya ia pergi ke Gunung Padang. Di sana ia menjadi pendeta, dengan nama barn Ajar Suka Rasa Ajar Suka Resi. Raja baru, yang namanya berganti menjadi Raden Galuh Barma Wijaya Kusumah, ternyata berperangai buruk dan mabuk kekuasaan. Ajar Suka Rasa menjadi resah, apalagi ia belum beroleh anak dan kedua permaisurinya itu. Hyang Widi mengabulkan permohonannya, cahaya yang berkilau tampak turun berbelah, sebagian turun di hulu negeri dan masuk ke dalam diri Naganingrum, sebagian lagi turun di istana dan masuk ke dalam diri Dewi Pangrenyep. Naganingrum menghadap raja, menyampaikan pemberitahuan seorang pendeta yang datang kepadanya, yang mengatakan bahwa kedua permaisuri akan mempunyai anak laki-laki. Sang raja tidak mempercayai kebenaran ramalan itu dan meminta agar pendeta itu dipanggil. Kepada utusan yang datang, sang pendeta memberikan sebungkus bunga melati, kunir, dan sepotong bunga putih, untuk diserahkan kepada raja. la sendiri datang kemudian. Sang pendeta tetap pada ramalannya, Raja Galuh Barma Wijaya Kusumah tetap pula membohongkannya. Permaisuni Pohaci Naganingrum dan Dewi Pangrenyep memang dibuat seperti sedang mengandung, masing-masing dengan menggunakan bokor kencana dan kuali kencana. Sang raja bangkit marahnya, kakek-kakek itu berkali-kali ditusuk dengan curiga 'keris', tetapi tidak juga mati. Akhirnya, pendeta itu berpura-pura mati. Tubuhnya dilemparkan, yang kelak berubah menjadi Naga Wiru. Bokor kencana dan kuali kencana tiba-tiba terlepas dari perut kedua permaisuri, lalu dilemparkan, masing-masing jatuh di Gunung Padang dan tanah Kawali. Dengan bantuan dukun beranak Nini Marga Sari, Dewi Pangrenyep melahirkan bayi laki-laki, diberi nama Aria Banga. Pada saat Raja Barma Wijaya tertidur di pangkuan Naganingrum, terdengar suara dari kandungan permaisuri itu, yang mengatakan bahwa sang raja seorang yang kejam dan akan mendapat hukuman dari pendeta Ajar Suka Resa. Yaksa Mayuta menerangkan makna suara gaib itu kepada raja, sebagai pertanda buruk. Karena itu, ia menjadi benci kepada Naganingrum. Pesannya kepada Dewi Pangrenyep ialah agar bayi Naganingrum kelak dihanyutkan ke Sungai Citanduy. Pada hari Jumat, tanggal 14 Mulud tahun Alif, Naganingrum melahirkan. Ia ditolong oleh Dewi Pangrenyep, karena inang Sangklong Larang dan Timbak Larang tidak berhasil menemukan dukun beranak. Mata dan telinga Naganingrum ditutup dengan malam panas. Bayinya dimasukkan ke dalam sebuah kanagan 'sejenis peti' bersama sebutir telur, sedangkan tembuninya dibentuk seperti anak anjing. Kanagan itu lalu dihanyutkan ke Sungai Citanduy. Setelah melewati Jamban Larangan dan Ciawitali, kanagan itu tersangkut di Sapuangin. Di sana disambut oleh Raden Himun Hidayatullah, anak Nabi Sulaeman yang sedang bertapa di Bantengmati, yang menjelma menjadi seekor buaya putih. Ditepuknya permukaan air untuk menciptakan banjir. Kanagan itu pun lalu dijunjungnya sampai ke hilir Sipatahunan. Karena fitnah bahwa ia beranak anjing, Naganingrum hendak dibunuh. Tetapi, Lengser menyingkirkannya dan menyuruhnya bertapa. Di lubuk Sipatahunan, Aki dan Nini Balangantarng tidak berani mengangkat lukahnya karena sungai sedang banjir. Pada malam harinya mereka bermimpi, yang ditafsirkannya sebagai akan beroleh rezeki besar. Bayi yang tersangkut pada lukah itu ditemukan dan dimandikan oleh Aki dan Nini Balangantrang dengan air dari celah batu yang pecah karena hentakan kaki bayi itu, lalu dipeliharanya dengan baik. Anak itu kelak menciptakan kampung Babakan Geger Sunten, berburu dengan bersenjatakan sumpit, dan memiliki seekor ayam sabung yang berasal dari telur yang terdapat dalam kanagan hanyut itu. Telur itu ditetaskan oleh Naga Wiru di Gunung Padang. Di tengah hutan perburuan, Aki Balangantrang memberi tahu anak asuhannya bahwa kedua binatang yang dilihatnya itu adalah burung ciung 'tiung' dan wanara 'kera'. Nama itu kemudian dijadikan nama anak itu Ciung Wanara. Aki Balangantrang lalu memberitahukan pula, siapa orang tua Ciung Wanara yang sebenarnya. Pada saat berlangsungnya pesta sabung ayam yang diselenggarakan di ibu kota kerajaan, Ciung Wanara dan Aki Balangantrang datang pula untuk mencoba ayamnya. Kedatangan Ciung Wanara diketahui oleh Lengser. la segera maklum bahwa pendatang yang menyamar sebagai anak hitam buncit dan sebagai pemuda yang mengaku bernama Bagus Lengka, yang membawa seekor ayam sabung, dan yang bisa melewati gerbang kerajaan tanpa terlihat pengawal itu, sesungguhnya adalah anak Naganingrum. Persabungan dimulai. Taruhan dari pihak raja adalah setengah wilayah negara, sedangkan Ciung Wanara hanya bertaruhkan nyawanya. Berkat air Cibarani, ayam Clung Wanara dapat mengalahkan ayam sang raja. Raja Barma Wijaya lalu menyerahkan wilayah barat kerajannya kepada Clung Wanara, sedangkan bagian timur diserahkannya kepada Aria Banga. Lama-kelamaan Ciung Wanara sadar bahwa ia memperoleh kerajaan bukan sebagai warisan, melainkan sebagai petaruh bersabung ayam. Terbit niatnya membalas dendam kepada sang raja dan Dewi Pangrenyep. Ibu dan ayahnya rencana itu. Batara Trusnabawa, ayah Naganingrum, datang sambil membawa bahan penjara. Ki Gendu Mayak, seorang pandai besi, baru mau membuatkan penjara itu kalau raja diberi tahu lebih dulu. Ciung Wanara memenuhinya, dengan mengatakan bahwa penjara itu dibuat untuk menghukum orang yang berniat jahat kepada raja permaisurinya. Pada saat Raja Barma Wijaya dan Dewi Pangrenyep melihat-lihat penjara baru itu, Clung Wanara segera menguncinya dari luar. Akibat peristiwa itu terjadilah pertarungan sengit antara Ciung Wanara dengan Aria Banga. Aria Banga terlempar ke sebelah .timur. Ketika ia hendak menyerang kembali, terhalang sebuah sungai. Maka keputuskanlah bahwa peperangan dihentikan, sungai itu dijadikan batas wilayah kekuasaan mereka dan dinamai Sungai Cipamali sebagai larangan pamali berselisih dengan saudara. Dari Cipamali ke timur, yang dinamai tanah Jawa Kajawan Kaprabon dikuasai Aria Banga. la kemudian menuju Majapahit. Dari Cipamali ke barat, sampai Palembang, yang dinamai Tanah Sunda, dikuasai Ciung Wanara yang kemudian pergi menuju Pajajaran. Sebelum berangkat, ia melemparkan penjara besinya, yang kemudian jatuh di Kandangwesi. Sumber Ensiklopedi Sastra Sunda Kemendikbud
Maaf saya memang norak karena saya sangat jarang melihat bebek atau meri dalam bahasa sunda atau entok ( ini bahasa apa ya ? ). Tapi saat ke Klaten kemarin saya benar-benar melihat segerombolan bebek yang lucu. Lucu artinya saya melihat gerombolan bebek bingung tanpa ada penggembalanya jadi mereka bingung menentukan arah.
Kacaturkeun di Karajaan Galuh. Anu ngaheuyeuk dayeuh waktu harita téh nya éta Prabu Barma Wijaya kusumah. Anjeunna boga permaisuri dua. Nu kahiji Déwi Naganingrum, ari nu kadua Déwi Pangrenyep. Harita duanana keur nepi kana waktuna, Déwi Pangrenyep ngalahirkeun. Budakna lalaki kasép jeung mulus, dingaranan Hariang Banga. Tilu bulan ti harita, Déwi Naganingrum ogé ngalahirkeun, diparajian ku Déwi Pangrenyep. Orokna lalaki deuih. Tapi ku Déwi Pangrenyep diganti ku anak anjing, nepi ka saolah-olah Déwi Naganingrum téh ngalahirkeun anak anjing. Ari orok nu saéstuna diasupkeun kana kandaga dibarengan ku endog hayam sahiji, terus dipalidkeun ka walungan kaayaan kitu, Sang Prabu kacida ambekna ka Déwi Naganingrum. Terus nitah Ki Léngsér supaya maéhan Déwi Naganingrum, lantaran dianggap geus ngawiwirang raja pédah ngalahirkeun anak anjing. Déwi Naganingrum dibawa ku Léngsér, tapi henteu dipaéhan. Ku Léngsér disélongkeun ka leuweung anu jauh ti dayeuh kandaga anu dipalidkeun téa, nyangsang dina badodon tataheunan lauk Aki jeung Nini Balangantrang. Barang Aki jeung Nini Balangantrang néang tataheunanana kacida bungahna meunang kandaga téh. Leuwih-leuwih sanggeus nyaho yén di jerona aya orok alaki anu mulus tur kasép. Gancangna budak téh dirawu dipangku, dibawa ka lemburna nya éta Lembur Geger Sunten, sarta diaku budak téh geus gedé. Tapi masih kénéh can dingaranan. Hiji poé budak téh milu ka leuweung jeung Aki Balangantrang. Nénjo manuk nu alus rupana, nanyakeun ka Aki Balangantrang ngaranna éta manuk. Dijawab ku Aki éta téh ngaranna manuk ciung. Tuluy nénjo monyét. Nanyakeun deui ngaranna. Dijawab deui ku Si Aki, éta téh ngaranna wanara. Budak téh resepeun kana éta ngaran, tuluy baé ménta supaya manéhna dingaranan Ciung Wanara. Aki jeung Nini Balangantrang Ciung Wanara geus jadi pamuda anu kasép sarta gagah pilih tanding. Ari endogna téa, disileungleuman ku Nagawiru ti Gunung Padang, nepi ka megarna. Ayeuna geus jadi hayam jago anu alus tur hiji poé, Ciung Wanara amitan ka Aki jeung Nini Balangantrang, sabab rék nepungan raja di Galuh. Inditna bari ngélék hayam jago téa. Barang nepi ka alun-alun amprok jeung Patih Purawesi katut Patih Puragading. Nénjo Ciung Wanara mawa hayam jago, éta dua patih ngajak ngadu hayam. Ku Ciung Wanara dilayanan. Pruk baé hayam téh diadukeun. Hayam patih éléh nepi ka paéhna. Patih dua ngambek, barang rék ngarontok, Ciung Wanara ngaleungit. Dua patih buru-buru laporan ka Ciung Wanara papanggih jeung Léngsér. Terus milu ka karaton. Nepi ka karaton, Ciung Wanara ngajak ngadu hayam ka raja. Duanana maké tandon. Lamun hayam Ciung Wanara éléh, tandonna nyawa Ciung Wanara. Sabalikna lamun hayam raja nu éléh, tandonna nagara sabeulah, sarta Ciung Wanara baris dijenengkeun raja tur diaku baé atuh hayam téh diadukeun. Lila-lila hayam Ciung Wanara téh kadéséh, terus kapaéhan. Ku Ciung Wanara dibawa ka sisi Cibarani, dimandian nepi ka élingna. Gapruk diadukeun deui. Keur kitu datang Nagawiru ti Gunung Padang, nyurup kana hayam Ciung Wanara. Sanggeus kasurupan Nagawiru, hayam Ciung Wanara unggul. Hayam raja éléh nepi ka jeung jangjina Ciung Wanara dibéré nagara sabeulah, beulah kulon. Dijenengkeun raja sarta diaku anak ku Prabu Barma Wijaya Kusumah. Ari nagara anu sabeulah deui, beulah wétan dibikeun ka Hariang kabinékasan Ki Léngsér, Ciung Wanara bisa patepung deui jeung indungna nya éta Déwi Naganingrum. Lila-lila réka perdaya Déwi Pangrenyep téh kanyahoan ku Ciung Wanara. Saterusna atuh Déwi Pangrenyep téh ditangkep sarta dipanjarakeun dina panjara Banga kacida ambekna basa nyahoeun yén indungna geus dipanjara ku Ciung Wanara. Der atuh tarung. Taya nu éléh sabab sarua saktina. Tapi lila-lila mah Hariang Banga téh kadéséh ku Ciung Wanara. Hariang Banga dibalangkeun ka wétaneun Cipamali. Tah, harita kaayaan Galuh jadi dua bagian téh. Kuloneun Cipamali dicangking ku Ciung Wanara. Ari wétaneunana dicangking ku Hariang Sastra Sunda, karya Drs. Budi Rahayu Tamsyah.
Kesepakatanpembagian pulau Jawa itu diabadikan dalam tradisi Sunda dengan ungkapan Ciung Wanara ka Kulonkeun bari papantunan, Hariang Banga ka Wetankeun bari tetembangan (Ciung Wanara pergi ke arah Barat sambil mengisahkan cerita pantun, Hariang Banga pergi ke sebelah timur sambil menyanyikan tembang).
-Legenda Ciung Wanara adalah cerita rakyat Sunda, yang sangat terkenal. Cerita rakyat ini tidak hanya terkenal di Jawa Barat saja melainkan di seluruh Ciung Wanara dipercaya sebagai cerita rakyat di zaman Kerajaan Sunda Galuh. Berikut ini Legenda Ciung Wanara. Legenda Ciung Wanara Di Desa Karangkamulyan terdapat sebuah kerajaan yan bernama Kerajaan Galuh dipimpin raja yang bijaksana bernama Adimulya Sanghiang Cipta Permana Dikusumah dengan permaisuri Dewi Naganingrum. Setelah beberapa tahun menikah, Dewi Naganingrum belum dikaruniai anak. Sementara, raja telah mengidam-idamkan memiliki anak untuk penerus tahtanya. Akhirnya, permaisuri meminta raja menikah lagi. Awalnya, raja menolak, namun ia menyanggupi permintaan permaisuri dengan syarat wanita tersebut harus pilihan permaisuri. Pilihan permaisuri jatuh pada Dewi Pangreyep selir. Perintah yang awalnya ditolak itu, akhirnya diterima Dewi Pangreyep. Dari pernikahan dengan baginda raja, Dewi Pangreyep hamil dan melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Hariang Banga. Baca juga Legenda Putri Lumimuut, Asal-usul Etnis Minahasa
SastraUI dan Universitas Res Publica (sekarang Trisakti) dalam mata kuliah Sastra/Bahasa Sunda. Buku-bukunya yang sudah terbit: yang Terhempas dan terkandas, kumpulan cerpen 1951, ciung wanara, cerita anak-anak. 1961 Korban Romantik, kumpulan cerpen tahun 1963. Aneka pustaka, kumpulan pembicaraan buku tahun 1974. Si Buncir, cerita anak
67% found this document useful 3 votes22K views8 pagesOriginal Title[TUGAS] Bahasa Sunda - Legenda Ciung WanaraCopyright© © All Rights ReservedAvailable FormatsDOCX, PDF, TXT or read online from ScribdShare this documentDid you find this document useful?67% found this document useful 3 votes22K views8 pagesTUGAS Bahasa Sunda - Legenda Ciung WanaraOriginal Title[TUGAS] Bahasa Sunda - Legenda Ciung WanaraJump to Page You are on page 1of 8 You're Reading a Free Preview Pages 5 to 7 are not shown in this preview. Reward Your CuriosityEverything you want to Anywhere. Any Commitment. Cancel anytime.
Ceritapendek Kasilib pernah mendapat hadiah II hadiah Sastra Mangle pada tahun 1968. di samping dalam kumpulan ini, cerita itu diantologikan Begitu mereka masuk, dikuncilah penjara itu dari luar oleh Ciung Wanara. Mereka terkurung dalam penjara. Ketika didengar oleh Aria Banga akan hal itu, disuruhnya para bupati, para jaksa dan para aria
Dongeng Bahasa Sunda CIUNG WANARAKacaturkeun di Karajaan Galuh. Anu ngaheuyeuk dayeuh waktu harita teh nyaeta Prabu Barma Wijaya gaduh permaisuri hiji Dewi Naga Ningrum anu ka dua Dewi Pangrenyep. Harita duanana keur kakandungan. Barang nepi kana waktosna, Dewi Pangrenyep ngalahirkeun budak lalaki kasep jeung mulus, dingaranan Hariang Banga. Tilu bulan tiharita Dewi Naga Ningrum ogé ngalahirkeun, diparajian ku Dewi Pangrenyep, orokna lalaki deuih. Tapi ku Dewi Pangrenyep diganti ku anak anjing, nepi kasaolah-olah Dewi Naga Ningrum téh ngalahirkeun anak anjing. Ari orok nu saestuna diasupkeun kana kandaga dibarengan ku endog hayam sahiji, terus dipalidkeun ka walungan kaayaan kitu, sang Prabu kacida ambekna ka Dewi Naga Ningrum. Terus nitah ki Lengser supaya maehan Dewi Naga Ningrum, lantaran dianggap geus ngawiwirang raja pedah ngalahirkeun anak anjing. Dewi Naga Ningrum dibawa ku Lengser, tapi heunteu dipaéhan. Ku Lengser diselongkeun ka leuweung nu jauh ti Dayeuh kandaga anu dipalidkeun téa, nyangsang dina badodon tataheunan lauk aki jeung nini Balangantrang. Barang aki jeung nini Balangantrang neang tataheunana, kacida bungahna meunang kandaga téh. Leuwih – leuwih sanggeus nyaho yén dijerona aya orok lalaki anu mulus tur kasep. Gancang budak téh dirawu dipangku, dibawa kalemburna nyaeta lembur Geger Sunten sarta diaku budak téh geus gede. Tapi masih keneh can dingaranan. Hiji poé budak téh milu ka leuweung jeung Aki balangantrang. Nénjo manuk nu alus rupana. Nanyakeun ka aki Balangantrang. “Aki ari itu sato naon?” “Eta téh ngarana manuk Ciung Jang”.Tuluy budak téh nénjo monyet. “Ari nu itu naon aki”? Dijawab deui ku si aki. “Eta téh ngarana Wanara”. Budak téh resepeun kana éta ngaran, tuluy baé ménta supaya manehna dingaranan Ciung Wanara. “Mun kitu mah ngaran kuring teh Ciung Wanara bae atuh Ki !”. Aki jeung nini Balangantrang Ciung Wanara geus jadi nu kasep sarta gagah pilih tanding. Ari endogna téa disileungleuman ku Naga Wiru ti Gunung Padang, nepi ka megarna. Ayeuna geus jadi hayam jago anu alus tur hiji poé, Ciung Wanara amitan ka aki jeung nini Balangantrang sabab rék nepungan raja di Galuh. Inditna bari ngelek hayam jago téa. Barang nepi ka alun-alun amprok jeung Patih Pura Wesi katut Patih Pura Gading. Nénjo Ciung Wanara mawa hayam jago, éta dua patih ngajak ngadu hayam. Ku Ciung Wanara dilayanan prung waé hayam téh diadukeun. Hayam patih éléh nepi ka paéhna. Patih dua ngambek, barang rék ngarontok, Ciung Wanara ngaleungit. Dua patih buru-buru laporan ka Ciung Wanara papanggih jeung Lengser. Terus milu ka karaton. Nepi ka karaton, Ciung Wanara ngajak ngadu hayam ka raja. Duanana make tandon. Lamun hayam Ciung Wanara éléh tandona nyawa Ciung Wanara. Sabalikna lamun raja nu éléh tandona nagara sabeulah, sarta Ciung Wanara baris dijenengkeun jadi raja tur diaku baé hayam téh diadukeun. Lila-lila hayam Ciung Wanara téh kadeseh, terus kapaehan. Ku Ciung Wanara dibawa ka sisi cibarani, dimandian nepi ka elingna. Gapruk diadukeun deui. Keur kitu dating naga wiru ti gunung padang, nyurup kana hayam Ciung Wanara. Sanggeus kasurupan naga wiru, hayam Ciung Wanara unggul, hayam raja éléh nepi ka jeung jangjina, Ciung Wanara dibéré nagara sabeulah, beulah kulon. Dijenengkeun raja sarta diaku anak ku Prabu Barma Wijaya Kusumah, ari nagara nu sabeulah deui, beulah wetan, dibikeun ka Hariang kabinekasan ki lengser, Ciung Wanara bisa patepung deui jeung indungna nyaéta Dewi Naga Ningrum. Lila-lila réka perdaya Dewi Pangrenyep téh kanyahoan ku Ciung Wanara. Saterusna atuh Dewi Pangrenyep téh ditangkep sarta dipanjarakeun dina panjara Banga kacida ambekna basa nyahoeun indungna geus dipanjara ku Ciung Wanara. Dee….r atuh tarung. Taya nu éléh sabab sarua saktina. Tapi lila-lila Hariang Banga téh kadeseh ku Ciung Wanara. Hariang Banga dibalangkeun ka wetaneun Cipamali. Tah tiharita kaayaan Galuh jadi dua bagian téh. Kuloneun Cipamali dicangking ku Ciung Wanara. Ari wetaneunana dicangking ku Hariang Banga.
SemuaTentang Pantun. Manusia memerlukan cerita, dan cerita membutuhkan estetika. Maka dari itu lahirlah pementasan drama, teater, sastra prosais, puisi, pantun, bahkan tarian. Dengan hasil-hasil budaya itulah manusia menjadikan diri mereka makin beradab dan lebih teratur. Manusia membutuhkan petunjuk yang berpetuah dan model untuk dijadikan
Dongeng Sunda Ciung Wanara – – Matahari bersinar dari timur, bulat dan merah. Jamur mengendap di daun, berubah menjadi embun, lalu jatuh ke tanah. Dengan mendengarkan kicauan berbagai jenis burung, warga kabupaten mengiringi kaki mereka ke bukit, ladang, sawah, pasar, dan tempat mencari nafkah. Di sini semuanya berbuah dan sukses, tidak ada perang, konflik dan dosa. Mereka semua mengikuti petunjuk dari satu Tuhan, untuk hidup rukun di bumi setiap tetapi, kehidupan yang tenteram itu bukan hanya karena ketaatan warganya terhadap ajaran agama, melainkan kerajaan tersebut diperintah oleh seorang raja yang sangat arif, bijaksana dan tidak memihak. Raja Prabu Permana di Kusuma, raja sakti, besar ilmu kerajaan, bagus. Raja dikenal oleh masyarakat bahwa ia selalu mencintai rakyat negerinya, terutama rakyat miskin, ia lebih mementingkan rakyatnya dari pada kepentingan pribadinya. Itulah sebabnya tanah yang subur menjadi lebih makmur, damai dan sejahtera, penuh dengan kesehatan. Pemerintah di negeri Perhayangan mengikuti pendidikan Parmana di Kusuma memiliki dua istri; Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingrum. Keduanya adalah wanita cantik dan cerdas, tetapi mereka memiliki kepribadian yang berbeda. Devi Pangreyep mudah marah dan cemburu, serta sombong sedangkan Devi Naganigram adalah wanita yang tenang, lembut dan baik hati. Tetapi raja memperlakukan mereka dengan adil, sehingga tidak ada pertengkaran di dalam rumah Search ResultsEk Hridiya Raja Prabu Permana de Kusumah memanggil Uwa Batara Lengsar, penasihat pemerintah. Ia ingin menunjukkan kegelisahan dalam dirinya yang selalu mengganggu penasihat pemerintah yang sudah sangat tua tetapi memiliki pikiran yang sangat tajam. Dia juga santai, tidak pernah mengambil kesempatan untuk dekat dengan raja, nasihat yang diberikan selalu sangat penting bagi rakyatnya.“Terima kasih, tapi… aku tidak bisa tenang, hidup di dunia ini sepertinya banyak siksaan bagiku. Orang miskin selalu melihat keburukan yang dilakukan orang. Ya, aku mencoba memerintah kerajaan ini tanpa batas. Mereka tahu.”“Maaf Tuan Gusti. Uwa Batara tidak mau mengikuti, tapi begitulah manusia, mereka terikat oleh keinginan, hanya orang yang lemah lembut yang bisa melawan keinginan.”Legenda Ciung Wanara Dan Unsur Intrinsiknya bahasa Indonesia & Sunda“Ini yang saya pikirkan. Saya telah mengundang Anda ke sini, agar nanti saya bersinar di kaki saya. Karena, saya telah memutuskan untuk menjadi pertapa, mengasingkan diri di hutan, bertapa di gunung, mendekat. kepada Yang Satu dan Satu-Satunya.”Uwa Batara Lengsar sangat terkejut mendengar tentang Prabu Permana di Kusuma. Ini adalah tujuan yang sangat mulia, dari semua raja yang tidak dapat berpikir untuk merendahkan diri, memisahkan diri dari gemerlapnya sehari-hari, ini akan menjadi tugas yang paling sulit. Tapi, ada yang lebih penting bagi Uwa Batara Lengsar, negeri kaya ini mau dibawa kemana tanpa raja?“Duh Gusti Tuhan, maafkan saya, ribuan hamba memohon ampun! Kerajaan Galuh yang sedang baik-baik saja akan jatuh jika Yehuwa meninggalkannya. Tidak hanya itu, musuh kerajaan akan menyerang kerajaan, dan jika Yehuwa memilih untuk berhati-hati, langit akan menjadi gelap, Galuh akan menutupi tanah kerajaan,” Uwa Batara membungkuk di hadapan Permana di Kusumah, Penguasa Permana de Kusumah bangkit dari singgasananya, menghampiri Uwa Batara Lengsar, lalu mengeluarkan tubuh Uwa Batara dari lututnya. Prabu Parmana sangat menghormati sesepuh seperti Uwa Batara Lengsar, baginya Uwa Batara adalah guru dari segala Ciung Wanara Versi Basa Sunda“Jika nanti akan terjadi hal-hal aneh di kerajaan, jangan kaget, dan pastikan bahwa saya telah meninggalkan kerajaan. Namun, saya selalu menyarankan Anda untuk berhati-hati, karena musuh yang sebenarnya ada di dalam diri Anda. Pimpinlah mereka yang pantas untuk dituntun dan peliharalah yang lemah, jangan membungkuk untuk memimpin [3].Uwa Batara menunduk, tak tahan menatap wajah raja yang dikaguminya itu. Seorang raja yang tidak pernah berhenti belajar, bekerja dan berdoa untuk keselamatan rakyat Kerajaan Galuh yang terbentang dari Hujung Kulon ujung Jawa hingga Hujung Galuh saat ini muara Sungai Brantas. Angin meniup dedaunan, embun jatuh di sungai, mereka kerajaan terkejut. Prabu Permana di Kusumah menjadi tampan, pemberani, dan awet muda, karena masih muda. Tidak ada yang tahu mengapa hal itu terjadi, sehingga masyarakat kerajaan Galuh percaya bahwa raja adalah titisan Tuhan. Namun, kejutan ini juga menimpa Menteri Aria Kebonan yang disebut-sebut menghilang entah pejabat pemerintah, termasuk Uwa Batara Lengsar, berkumpul di Belle Riung. Dia mendengar pengumuman dari penyiar, tetapi hatinya menolak apa yang diumumkan, dia tidak percaya sama sekali bahwa pemuda tampan, pemberani dan muda yang dia miliki sebelumnya adalah Rakyat Lutung Kasarung Beserta Ulasan Menariknya 2022Perbedaan penampilan dan perilaku Prabu Varma Wijaya terlihat jelas, yang membuat Uwa Batara Lengsar sulit dipercaya. Yang mereka yakini, sifat manusia tidak akan hilang meski keberadaannya Varma Wijaya tertawa keras. Ia sangat senang melihat semua pejabat pemerintah bersujud kecuali Uwa Batara Lengsar yang hanya diam dan tidak beranjak dari tempat duduknya.“Yang Mulia, saya tidak bisa berbohong, karena berbohong adalah awal kehancuran seseorang. Hati kecil saya mengatakan bahwa Yang Mulia bukanlah Parmana Di Kusumah. Sekali lagi, saya mohon maaf kepada Yang Mulia…”“Ini adalah masalah waktu kerajaan, masa lalu tidak bisa dikembalikan. Mereka yang hidup di masa lalu hanya mengingat, mereka menjadi sejarah, dan masa depan adalah masa penuh harapan, mimpi.”Sastra Lisan Sunda Mite, Fabel, Dan Iegende 1“Apakah Uwa Batara meragukan kekuatan Tuhan saja? Atau… Apakah Uwa Batara memiliki niat buruk di daerah ini?” Lord Varma Vijaya marah.“Kalau begitu, ini bukan orang bijak. Ini tidak lebih dari buah busuk. Ini monyet yang hidup di tengah ladang petani, berharap mendapat pisang, tapi dikurung.”“Nah Uwa Batara, saya sudah mengatakan bahwa Uwa Batara tidak lain hanyalah seekor monyet, hanya seekor monyet.. hahahahaha.” Prabhu Varma Vijaya tertawa terbahak-bahak, lalu menatap para menteri, dan para menteri juga tertawa Batara membungkuk, bangkit dari duduknya, lalu meninggalkan Bele Ryung, kakinya goyah, hatinya terluka oleh kelakuan raja, dan dia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa Lord Varma Vijaya akan diikat seperti monyet, tidak mampu. Cukup klik tanda kurung untuk melakukan Rakyat DaerahSetiap hari itu keluar dari tangan pemerintah. Sesepuh suka mabuk dan berjudi dalam permainan ayam, ini karena Prabu Varma Wijaya yang suka bermain ayam, masyarakat Galuh telah kehilangan seorang pemimpin yang dulunya bijaksana, tetapi dia tidak bisa berbuat apa-apa, mungkin ini adalah satu satunya. hanya masyarakat Galuh yang mendengar. Hal yang sama dirasakan oleh Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingram, sering dikritik dan dihina serta tidak diperlakukan sebagai laki-laki atau perempuan. Akibatnya, mereka kesepian dan tertekan di istana. Namun, mereka hanyalah perempuan, mereka tidak bisa berbuat banyak, mereka hanya malam ketika mereka sedih dan tidur di kamar mereka. Kemudian mereka bermimpi bulan jatuh di antara kedua kaki mereka, awalnya mereka mengira itu adalah bunga yang sedang tidur. Tapi, mimpi selalu datang saat mereka tidur, membuat mereka gelisah. Dan tidak dapat menyembunyikan kegelisahan mereka, mereka menceritakan kisah itu kepada Prabhu Varma Varma Wijaya tampak enggan, namun tak pelak dipanggil Uwa Batara Lengsar, karena dialah satu-satunya penasihat kerajaan yang dipercaya oleh kedua ratu tersebut. Uwa Batara masuk ke dalam istana, berlutut di hadapan raja dan mendengarkan cerita lengkap kedua dewa tersebut. Kepalanya gemetaran, kecerdasannya sangat tajam sehingga dia tahu bahwa daerah ini menyimpan banyak Dongeng Jenis, Contoh, Nilai Moral, Dan Manfaat“Beliau adalah seorang pertapa yang tinggal di negeri parahyanga gusti, ilmu penerjemahannya sangat bagus dan beliau memiliki sifat yang sangat cerdas dan terpelajar.”Prabhu Varma Vijaya terdiam sesaat—matanya seperti memikirkan Uwa Batara. Memang selama ini dia tidak ingin biksu melakukan pekerjaan pemerintah, karena dia bisa melakukan segalanya dengan caranya prajurit dikirim untuk mencari keberadaan Azor Sucaresi, namun menemukan penyihir sakti itu tidak mudah. Raja tertekan selama beberapa hari, dan bertanya-tanya apa yang akan terjadi padanya ketika dia menafsirkan mimpi itu. Mimpi itu tidak menandakan bahwa kedua dewi itu akan hamil, tetapi bagaimana bisa? Dia tidak pernah tidur dengan dua salah satu juri mengatakan hasil pencarian Azor Sucaresi sudah ditemukan. Saat pertapa sedang dalam perjalanan menuju istana, Prabu Barma memanggil semua pejabat, termasuk Vijaya Uwa Batara dan Dewi Pangreyep, Dewi Wisata Pangandaran“Mimpi ini biasa terjadi pada wanita yang akan hamil,” kata Azar Sukaresi sambil tersenyum kepada Prabu Varma yang hadir terdiam – menatap heran pada raja yang sangat bahagia. Namun Dewi Pangreyep dan Dewi Naganingrum juga resah, menyadari bahwa Lord Varma Vijaya tidak pernah menyentuhnya. Prabhu Varma Vijaya menyadari bahwa ucapannya mengejutkan para pejabat, yang pasti senang mendengar tentang kehamilan istri keduanya.“Yah… aku senang mendengarnya, tapi apakah mereka semua perempuan? Karena saya mendambakan seorang gadis,” kata Prabhu Varma Vijaya. Bahkan, dia sangat marah di dalam hatinya, karena dia tidak ingin memiliki anak yang niscaya akan merampas Varma Vijaya menjadi marah setelah mendengar jawaban biksu Ajar Sukaresi bahwa dia tidak ingin memiliki anak laki-laki yang sebenarnya merupakan tanda kehancuran diri. Dia bangkit dan mengeluarkan pedang sihirnya. Ia kemudian menikam Azor Sukaresi di bagian dada, tetapi bilahnya bengkok, tidak mampu menusuk Azor Sukaresi di bagian & Sasakala SundaSemua orang yang hadir mengelak—mereka tidak percaya dengan apa yang mereka lihat, tidak ada yang bisa melawan pedang sihir raja. Uwa Batara senang menyaksikan semua itu, kini ia yakin bahwa Prabu Varma Vijaya bukanlah Prabu Parmana di Kusumah, karena tidak ada yang bisa menggunakan mantra sakti kecuali sang raja sendiri. Namun, misteri siapakah Prabhu Varma Wijaya masih jauh dari ciung wanara, villa ciung wanara walini, dongeng ciung wanara bahasa sunda, cerita ciung wanara bahasa sunda, ciung wanara bahasa sunda, villa ciung wanara ciwidey, hotel ciung wanara puncak, dongeng ciung wanara dalam bahasa sunda, cerita dongeng ciung wanara, film ciung wanara full movie, ciung wanara ciamis, dongeng ciung wanara
4SEf. 240nh40jtq.pages.dev/339240nh40jtq.pages.dev/59240nh40jtq.pages.dev/302240nh40jtq.pages.dev/322240nh40jtq.pages.dev/79240nh40jtq.pages.dev/61240nh40jtq.pages.dev/162240nh40jtq.pages.dev/39240nh40jtq.pages.dev/203
cerita ciung wanara dalam bahasa sunda