Sistem Peradilan Internasional â Dalam hubungannya dengan peradilan internasional, komponen peradilan itu yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan dalam rangka mencapai keadilan internasional. Komponen-komponen tersebut meliputi mahkamah internasional the international court of justice, mahkamah pidana internasional the international criminal court, dan panel khusus dan spesial pidana internasional the international criminal tribunals and special courts. Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan organ utama lembaga kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Mahkamah itu didirikan pada tahun 1945 berdasarkan piagam PBB. Dalam piagam itu ditetapkan kedudukan dan wewenang mahkamah internasional yang merupakan bagian integral dari piagam PBB. Kedudukan Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan salah satu organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai organ utama, mahkamah internasional bertugas untuk mencapai tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai organ utama, Mahkamah Internasional bekerja sama dan saling membantu dengan organ-organ lain dari PBB. Mahkamah Internasional merupakan sarana peradilan bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa Negara bukan anggota PBB, untuk kasus tertentu, juga dapat berperkara di hadapan mahkamah internasional setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh majelis umum dan atas rekomendasi Dewan Keamanan. Komposisi Mahkamah Internasional Dalam pasal 9 statuta mahkamah internasional dijelaskan bahwa komposisi mahkamah internasional terdiri atas 15 orang hakim, dengan masa jabatan 9 tahun. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Dari daftar calon hakim ini, majelis umum dan dewan keamanan secara independen melakukan pemungutan suara untuk memilih anggota mahkamah internasional. Para calon yang memperoleh suara terbanyak terpilih menjadi hakim mahkamah internasional. Biasanya lima hakim mahkamah internasional berada dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, dan Rusia. Di samping 15 hakim tetap, pasal 32 statuta mahkamah internasional memungkinkan dibentuknya hakim ad hoc yang terdiri atas dua orang hakim yang diusulkan oleh negara yang bersengketa. Kedua hakim ad hoc tersebut bersama-sama dengan ke-15 hakim tetap, memeriksa dan memutuskan perkara yang disidangkan. Fungsi Utama Mahkamah Internasional Fungsi utama mahkamah internasional adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara. Dalam pasal 34 statuta Mahkamah internasional dinyatakan bahwa yang boleh beracara di Mahkamah Internasional adalah subjek hukum negara only states may be parties Indonesia cases before the court. Ada tiga kategori negara menurut statute ini, yaitu sebagai berikut. Negara anggota PBB berdasarkan pasal 35 ayat 1 statuta mahkamah internasional dan pasal 93 ayat 1 piagam PBB, otomatis memiliki hak untuk beracara di mahkamah internasional. Negara bukan anggota PBB yang menjadi anggota statute mahkamah internasional, dapat beracara di mahkamah internasional apabila telah memenuhi persyaratan yang diberikan oleh dewan keamanan PBB atas dasar pertimbangan majelis umum PBB, yakni bersedia menerima ketentuan dari statute mahkamah internasional piagam PBB pasal 94 dan segala ketentuan berkenaan dengan mahkamah internasional. Negara bukan anggota statute mahkamah internasional, kategori-kategori ini diharuskan membuat deklarasi bahwa akan tunduk pada semua ketentuan mahkamah internasional dan piagam PBB pasal 94. Yurisdiksi Mahkamah Internasional Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Yurisdiksi mahkamah internasional ini meliputi kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pertikaian contentious case; memberikan opini-opini yang bersifat nasihat advisory opinion. Yurisdiksi menjadi dasar mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional. Para pihak yang akan beracara di mahkamah internasional wajib untuk menerima yurisdiksi mahkamah internasional. Terdapat beberapa kemungkinan cara penerimaan tersebut, yakni dalam bentuk berikut. Perjanjian khusus, adalah bahwa para pihak yang bersengketa menyerahkan perjanjian khusus yang berisi subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Contohnya adalah kasus sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan antara Indonesia dan Malaysia. Penundukan diri dalam perjanjian internasional, adalah bahwa para pihak telah menundukkan diri pada yurisdiksi mahkamah internasional sebagaimana yang terdapat dalam isi perjanjian internasional di antara mereka. Ketentuan tersebut mewajibkan peserta perjanjian untuk tunduk kepada yurisdiksi mahkamah internasional jika terjadi sengketa di antara para peserta perjanjian. Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta Mahkamah Internasional, adalah bahwa negara yang menjadi anggota statuta Mahkamah internasional yang akan beracara di Mahkamah Internasional menyatakan diri untuk tunduk pada Mahkamah Internasional. Mereka tidak perlu membuat perjanjian khusus terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Internasional mengenai yurisdiksinya, dapat diterangkan bahwa ketika terdapat sengketa mengenai yurisdiksi Mahkamah Internasional, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui keputusan mahkamah internasional sendiri. Di sini para pihak dapat mengajukan keberatan awal terhadap yurisdiksi mahkamah internasional. Penafsiran putusan, didasarkan pada pasal 60 statuta mahkmah internasional, yang mengharuskan Mahkamah Internasional memberikan penafsiran jika diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang beracara. Permintaan penafsiran dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian khusus antarpara pihak yang bersengketa. Perbaikan putusan, dapat dijelaskan bahwa penundukan diri pada yurisdiksi Mahkamah Internasional dilakukan melalui pengajuan permintaan. Syaratnya adalah adanya fakta baru novum yang belum diketahui Mahkamah Internasional pada saat membuat keputusan. Hal tersebut sama sekali bukan karena kesengajaan dari para pihak yang bersengketa. Mahkamah Internasional memutuskan berdasarkan hukum. Akan tetapi, Mahkamah Internasional dapat memutuskan sengketa berdasarkan kepantasan dan kebaikan apabila pihak-pihak yang bersengketa menyetujuinya. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah pidana internasional berdiri permanen berdasarkan traktat multilateral. Tujuan mahkamah pidana internasional adalah untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional dipidana. Mahkamah pidana internasional dibentuk berdasarkan statuta Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan disahkan pada tanggal 1 Juli 2002. Tiga tahun kemudian, yakni pada tanggal 1 Juli 2005 statuta mahkamah pidana internasional telah diterima dan diratifikasi oleh 99 negara. Mahkamah pidana internasional berkedudukan di Den Haag, Belanda. Komposisi Pada awalnya mahkamah pidana internasional terdiri atas delapan belas orang hakim dengan masa jabatan sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara majelis negara pihak, terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini pasal 36 ayat 6 dan 9. Paling tidak setengah dari mereka berkompeten di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak, yang lainnya memiliki kompetensi di bidang hukum internasional, seperti hukum humaniter internasional dan hukum HAM Internasional pasal 36 ayat 5. Dalam pasal 36 ayat 8 dikatakan bahwa dalam memilih para hakim, negara pihak negara peserta/anggota harus memperhitungkan perlunya perwakilan berdasarkan prinsip-prinsip sistem hukum di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan jender. Dalam pasal 39 para hakim tersebut akan disebar dalam tiga bagian yakni praperadilan, peradilan, dan peradilan banding. Pasal 42 ayat 4 menjelaskan bahwa mayoritas absolut dari majelis negara pihak akan menetapkan jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja sembilan tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Dalam pasal 42 ayat 3 ditetapkan bahwa para penuntut tersebut harus mempunyai pengalaman praktik yang luas dalam penuntutan kasus-kasus pidana. Jaksa dapat bertindak atas penyerahan diri negara pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan berdasarkan kehendak sendiri propio motu. Prinsip yang mendasar dari statuta nama adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional pasal 1. Artinya, bahwa mahkamah harus mendahulukan sistem nasional. Apabila sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak bersedia untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, persoalan itu dapat diambil alih di bawah yurisdiksi Mahkamah pasal 17. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Yurisdiksi yang dimiliki mahkamah pidana internasional untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas pada pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Dalam pasal 5ââŹâ8 statuta Mahkamah terdapat tiga jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut. Pertama adalah kejahatan genosida the crime of genocide, yakni tindakan kejahatan yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras ataupun kelompok keagamaan tertentu. Kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, yakni tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu. Ketiga adalah kejahatan perang war crimes yakni kejahatan yang dapat diterangkan sebagai berikut. a Tindakan yang berkenaan dengan kejahatan perang, khususnya jika dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. b Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan Konvensi Jenewa, contohnya, pembunuhan berencana, penyiksaan, eksperimen biologis, atau menghancurkan harta benda. c Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional. Contohnya menyerang objek-objek sipil bukan objek militer, membombardir secara mambabi buta suatu desa, atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan objek militer. d Kejahatan agresi the crime of aggression, yakni tindak kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian. Panel Khusus dan Spesial Pidana Internasional The International Criminal tribunals and Special Courts, ICT & SC Lembaga ini adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen, artinya setelah selesai mengadili peradilan ini dibubarkan. Dasar pembentukan dan komposisi penuntut dan hakim ad hoc ditentukan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Yurisdiksi atau kewenangan Panel Khusus dan Spesial pidana internasional ICT & SC menyangkut tindak kejahatan perang dan genosida tanpa melihat apakah negara dari si pelaku sudah meratifikasi statuta Mahkamah Pidana Internasional atau belum. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional yang yurisdiksinya berdasarkan pada kepesertaan negara dalam traktat multilateral tersebut. Perbedaan antara panel khusus pidana internasional dan panel spesial pidana internasional terletak pada komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya. Pada Panel khusus pidana internasional komposisi sepenuhnya ditentukan berdasarkan ketentuann peradilan internasional. Adapun pada panel spesial pidana internasional komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya merupakan gabungan antara peradilan nasional dan peradilan internasional. Contoh-contoh panel khusus pidana internasional dan panel spesial pidana internasional, antara lain adalah sebagai berikut. International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1994. International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ICTY, yang dibentuk pada tahun 1993. Special Court for Irag SCI Toward a Trial for Saddom Hussein and Other Top Booth Leaders. Special Court for East Timor SCET. Special Court for Leone SCSL.[pi] Tagsperadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah pengadilan, sistem peradilan internasional, pengadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah pengadilan, peradilan internasional, peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah, pengadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah, pengertian peradilan internasional, peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida
LPHAMatau Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia adalah sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.. Sejak 2003, LPHAM di pimpin oleh Ahmad Hambali seorang aktivis muda yang sebelumnya aktif di KontraS (1999-2003).. Sejarah. LPHAM yang didirikan oleh H. J. C. Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966 sebenarnya dipersiapkan untuk menghadang upaya
adhoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini; 2. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000; 3. Ketiga adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Apakah negara yang tidak meratifikasi sebuah perjanjian internasional bidang HAM boleh melakukan pelaporan ke Pelaporan Khusus HAM di PBB? Intisari Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Yakni mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Yakni prosedur penegakan HAM yang dibentuk berdasarkan Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ECOSOC. Berdasarkan 2 dua mekanisme tersebut, jika suatu negara tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Bagaimana mekanismenya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang dan Piagam PBB Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia âHAMâ merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia âUU HAMâ mengatakan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar dan fundamental bagi kehidupan manusia, serta menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, Pemerintah, bahkan Negara untuk menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM. Perserikatan Bangsa-Bangsa âPBBâ memegang peran yang sangat penting dalam rangka memajukan dan melindungi HAM. Perlindungan HAM bahkan menjadi salah satu tujuan PBB sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa âPiagam PBBâ sebagai berikut Untuk mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan permasalahan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau kemanusiaan dan dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua tanpa pembedaan mengenai ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Mekanisme Pelaporan HAM Internasional Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme sebagai berikut a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Treaty Based Mechanism adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. Perjanjian internasional ini hanya berlaku dan mengikat bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian terkait. Contohnya, pengajuan laporan kepada Human Rights Comittee âHRCâ yang pembentukannya didasarkan pada International Convenant on Civil and Political Rights âICCPRâ 1976 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Charter Based Mechanism adalah prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan Piagam PBB sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB antara lain tentang tujuan PBB memajukan pemecahan masalah-masalah internasional dan penghormatan HAM seantero jagad serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial âECOSOCâ yang antara lain adalah â.... Mendorong penghormatan universal dan diterapkannya hak asasi dan kebebasan dasar manusia.â Mekanisme pelaporan ini dapat dilakukan seluruh negara anggota, orang, kelompok masyarakat atau organisasi non-pemerintahan apabila mempunyai pengetahuan langsung atau tidak langsung mengenai dugaan pelanggaran, meskipun tidak mendatangani dan meratifikasi perjanjian HAM internasional. Berdasarkan 2 dua mekanisme di atas, jika negara yang Anda maksud tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Pada pembahasan ini kami akan menjelaskan mengenai mekanisme pelaporan HAM berdasarkan Piagam PBB. Mekanisme pelaporan berdasarkan Piagam PBB dilakukan melalui Dewan Hak Asasi Manusia dahulu Komisi Hak Asasi Manusia dan subdivisi-subdivisi di bawah Dewan, serta dua mekanisme yang dibentuk menurut Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 sebagai berikut Mekanisme Pelaporan HAM Berdasarkan Piagam PBB a. Dewan HAM PBB Dewan HAM adalah badan PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat kegiatan perlindungan HAM PBB. Mekanisme pelaporan sekaligus kepada Dewan HAM PBB dapat dilakukan melalui Prosedur Khusus, Kelompok Kerja, dan Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM. - Prosedur Khusus Tugas kerja dari prosedur khusus adalah sebagai mekanisme pencarian fakta dan investigasi, mengadakan kunjungan ke negara yang tertentu, dan menjalankan misi pencarian fakta dengan menerima laporan langsung dari masyarakat umum. Laporan investigasi disampaikan kepada Dewan HAM yang kemudian akan digunakan sebagai dasar perdebatan politik dan resolusi. - Kelompok Kerja Kelompok kerja terbuka untuk partisipasi semua negara dan organisasi non pemerintah. Kegiatan kelompok kerja bercirikan perdebatan, diskusi, serta pembuatan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM, yang hasilnya akan disampaikan kepada Dewan HAM. - Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM Subkomisi tersebut mempunyai mandat untuk melakukan penelitian, membuat rekomendasi, berpartisipasi dalam pembuatan konvensi dan mekanisme-mekanisme HAM, menerima laporan, dan memeriksa dugaan pelanggaran HAM. b. Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 ECOSOC memberikan kewenangan dalam bidang HAM kepada Dewan HAM PBB dengan mengadopsi dua prosedur yaitu melalui Resolusi 1235 XLII tertanggal 6 Juni 1967 dan Resolusi 1503 XLVIII tertanggal 27 Mei 1970. Melalui Prosedur 1235, Dewan HAM diberikan kuasa untuk melakukan pemeriksaan keterangan yang relevan terkait pelanggaran HAM yang diterima dari perseorangan, organisasi non pemerintah, dan negara sebagaimana dimuat dalam surat pengaduan yang didaftar oleh Sekretaris Jendral, kemudian melakukan studi terhadap pola pelanggaran HAM tersebut. Pada dasarnya Prosedur 1235 bukanlah prosedur pengaduan individual. Dalam hal pelaporan diajukan oleh individual, maka Dewan HAM akan mengarahkan informasi pelanggaran HAM pada survei umum negara yang bersangkutan. Sementara, Prosedur 1503 disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Dewan HAM diberi kewenangan untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual. Komunikasi dari korban, dan organisasi non pemerintah yang telah melewati pengujian dan diterima oleh Sekretaris Jenderal. Philip Alston, sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar hal. 345 menyebut Prosedur 1503 sebagai âpetition-informationâ bukan âpetition-redressâ, dikarenakan ketiadaan ganti rugi kepada pihak korban. Dengan kata lain, prosedur ini hanya bersifat informatif kepada masyarakat internasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara tertentu. Oleh karenanya, sanksi yang paling dimungkinkan adalah sebatas timbulnya rasa malu âshamingâ bagi negara pelanggar, sebab pelanggaran akan dibahas dalam diskusi yang berifat terbuka. Berdasarkan penjelasan di atas, maka negara yang tidak meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional dalam bidang HAM tetap dapat melakukan pelaporan khusus HAM di PBB melalui mekanisme Piagam PBB The Charter Based Mechanism yaitu melalui Dewan HAM PBB, Prosedur 1235 maupun Prosedur 1503. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; 2. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; 3. Resolusi 1235 XLII Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid; 4. Resolusi 1503 XLVIII Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Referensi 1. ELSAM, Instrumen Hak Asasi Manusia dan Konsep Tanggung Jawab Negara, diakses pada 30 Juni 2017 pukul WIB; 2. Pranoto Iskandar, 2012, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar, IMR Press Cianjur.04FTeb5.