Bacajuga: Sejarah Berdirinya PBB. Majelis Umum. Majelis atau Sidang Umum PBB adalah badan utama PBB. Anggotanya adalah seluruh anggota PBB, saat ini berjumlah 193 negara. Setiap bulan September, seluruh anggota PBB bertemu di General Assembly Hall di Markas PBB di New York untuk sidang dan debat.
102 Pelajaran Kewarganegaraan SMA 1 Selain peraturan perundang-undangan di atas, masih terdapat peraturan perundang-undangan lain yang secara tersirat juga memberikan jaminan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan tersebut antara lain 1 Undang-undang No 9 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang No 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. 2 Undang-undang No 5 tahun 1998 tentang Ratifikasi Konvensi anti Penyiksaan, Perlakuan dan Pembunuhan yang Kejam, Tidak Manusiawi dan Merendahkan Derajat. 3 Undang-undang No 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. 4 Undang-undang No 9 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 5 Undang-undang No 40 tahun 1999 tentang Pers. 6 Undang-undang No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 7 Undang-undang No 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. 5. Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia Penegakan hak asasi manusia merupakan kewajiban moral setiap manusia dan kewajiban dari perangkat hukum. Usaha penegakan hak asasi manusia dilaksanakan oleh beberapa lembaga penegakan HAM dalam lingkup internasional ataupun nasional. Berikut ini beberapa lembaga penegakan hak asasi manusia. a. Lembaga Penegakan HAM Internasional Secara umum konsep lembaga hak asasi manusia adalah lembaga yang berfungsi secara khusus dalam pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Agar usaha pelaksanaan HAM Apa sajakah peraturan yang menjadi jaminan hukum hak asasi manusia di Indonesia? Coba Anda pelajari salah satunya dan bagaimanakah realisasinya untuk masa depan Anda dapat mengakses peraturan perundang- undangan tentang HAM di website Di unduh dari Perkembangan Hak Asasi Manusia 103 internasional lebih dapat dijamin diperlukan pernbentukan lembaga perlindungan HAM internasional. Lembaga- lembaga perlindungan HAM internasional, antara lain sebagai berikut. 1 Majelis Umum PBB United Nations General Assembly Majelis Umum PBB merupakan salah satu organ utama dari PBB yang setiap negara anggota PBB terwakili di dalamnya. Kewenangan dari Majelis Umum PBB yang terkait dengan HAM adalah membuat rekomendasi dalam bentuk resolusi, yang di antaranya menghasilkan Resolusi ARES217 tentang Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, dan kewenangan untuk membuat organ tambahan subsidiary organs yang kemudian membentuk Dewan Hak Asasi Manusia melalui Resolusi ARES60251. 2 Dewan Ekonomi dan Sosial Economic and Social Council ECOSOC . Dewan PBB ini terutama memperhatikan masalah- masalah polusi, perkembangan ekonorni, HAM dan kriminal. Badan ini dalam kaitannya dengan HAM memiliki peran menerima dan menerbitkan laporan HAM dalarn berbagai situasi. Salah satu badan di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial adalah Komisi HAM PBB United Nations Commission for Human Rights yang kemudian digantikan oleh Dewan HAM PBB. Sebagian besar perjanjian internasional HAM, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik International Covenant on Civil and Political Rights dan Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya International Covenant on Economic, Social dan Cultural Rights merupakan perjanjian yang dihasilkan oleh organ PBB ini. 3 Dewan Hak Asasi Manusia United Nations Human Rights Council Dewan HAM PBB merupakan organ PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB ARES60251 yang menggantikan posisi dari Komisi HAM PBB. Tugas utamanya adalah melakukan tindak lanjut terhadap pelanggaran HAM yang terjadi di dunia. Kedudukan Dewan HAM adalah sebagai badan tambahan dari Majelis Umum PBB. Di unduh dari 104 Pelajaran Kewarganegaraan SMA 1 4 Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM Sub- Commission on Promotion dan Protection of Human Rigths Sub Komisi Pengenalan dan Perlindungan HAM adalah badan di bawah Dewan HAM yang bertugas melakukan penelitian atas perlakuan yang tidak adil dan membuat rekomendasi bahwa HAM dapat terlindungi secara hukum. Sub Komisi ini terdiri atas 26 ahli HAM. 5 Komisi Hak-Hak Asasi Manusia Commission on Human Right Komisi Hak Asasi Manusia yang penyebutan secara lengkapnya Komisi Hak-Hak Manusia PBB The United Nations Commision on Human RightUNCHR merupakan sebuah badanlembaga yang dibuat ECOSOC untuk membidangi HAM, yang merupakan salah satu dari sejumlah badan HAM internasional yang pertama dan terpenting. Peran Komisi Hak Asasi Manusia adalah memantau pelaksanaan dan menerima dan mempertimbangkan pemberitahuan dari setiap individu yang mengadu telah meniadi korban pelanggaran terhadap salah satu hak yang dikemukakan dalam Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik. Pengaduan tidak akan di terima dari warga negara yang negaranya tidak ikut serta menandatangani Protokol FakultatifOpsional pada Kovenan Internasional tentang Hak-hak sipil dan politik atau belum meratiikasinya. 6 Komisi Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan Kornisi ini berperan untuk memantau pelaksanaan HAM dan menerima pengaduan individu mengenai pelanggaran HAM sebagaimana yang dijamin dalam Kovenan Internasional Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. 7 Komisi Diskriminasi Rasial. Komisi ini berperan untuk memantau peIaksanaan HAM dan menerima pengaduan individu mengenai pelanggaran HAM sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Internasional terhadap Semua Bentuk Diskriminasi Rasial. 8 Komisi Hak-Hak Anak Komisi ini berperan untuk memantau pelaksanaan HAM menerima pengaduan individu mengenai pelanggaran HAM, sebagaimana yang dijamin dalam Konvensi Hak-Hak Anak. Di unduh dari Perkembangan Hak Asasi Manusia 105 9 Lembaga Perlindungan HAM Lainnya Bentukan PBB Ada juga lembaga perlindungan HAM yang didirikan oleh masyarakat internasional di luar pemerintah dalam bentuk LSM Lembaga Swadaya Masyarakat atau sering dikenal sebagai organisasi non pemerintah ORNOP Non Governmental Organizations NGOs. Beberapa di antaranya adalah organisasi besar yang bersifat internasional adalah Amnesty Internasional dan Palang Merah Internasional. ORNOP berperan penting untuk memonitor cara kerja badan HAM intemasional, seperti Komisi Hak Asasi Manusia Comimission on Human Rights juga berperan penting dalam kebijakan PBB di bidang HAM, dan banyak di antaranya memiliki konsultan resmi di PBB. b. Lembaga Penegakan HAM Nasional Dalampembentukan peradilan perikanan, pada awalnya dasar hukum lahirnya pengadilan perikanan didasari pada Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 pada Pasal 71 yang menyatakan bahwa "Dengan undang-undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili dan memutus tindak pidana di bidang perikanan".
/Artikel /Tentang “Pengadilan HAM” Internasional 23/09/2014 Statuta dan praktek pengadilan Tokyo, Nuremberg, ICTY, ICTR, dan Statuta Roma adalah sumber hukum internasional terpenting yang memberikan sumbangan definitif terhadap apa yang disebut sebagai “international crimes” saat ini. Statuta Pengadilan Nuremberg dan Tokyo tahun 1945 lah yang pertama kali menguraikan kejahatan-kejahatan yang hingga saat ini dianggap sebagai tindak kejahatan internasional, yaitu kejahatan terhadap perdamaian crimes against peace, kejahatan perang war crimes, dan kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity. Selain itu, dalam pengadilan Nuremberg dan Tokyo inilah pertama kali dikenal konsep individual criminal responsibility. Berawal dari preseden yang disumbangkan oleh kedua pengadilan internasional itulah, pada tanggal 21 November 1947, pasca perang dunia kedua, PBB membentuk Komisi Hukum Internasional International Law Commission melalui Resolusi Majelis Umum PBB Komisi ini bertugas untuk menyusun sebuah standar hukum internasional yang menjadi pegangan setiap negara anggota PBB. Pada sessi pertemuan yang ke 48, yang berlangsung bulan Mei sampai Juli 1996, Komisi Hukum Internasional ini berhasil menyepakati untuk mengadopsi serangkaian norma-norma atau prinsip-prinsip hukum internasional yang terangkum dalam 20 pasal “Draft Code of Crimes Against Peace and Security of Mankind”. Dalam draft kodifikasi tersebut dinyatakan bahwa yang termasuk di dalam tindak “kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia” adalah kejahatan agresi pasal 16 –yang memberikan dasar bagi penjabaran lebih lanjut definisi command responsibility, kejahatan genosida pasal 17, kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 18, kejahatan terhadap PBB dan personel-personelnya pasal 19, serta kejahatan perang pasal 20. Pengadilan internasional berikutnya yang memberikan sumbangan sangat penting dalam proses pendefinisian tindak pidana yang termasuk “kejahatan internasional” adalah Pengadilan Pidana Internasional untuk Negara Bekas Yugoslavia ICTY. Statuta ICTY memberikan sumbangan besar terhadap pengembangan konsep individual criminal responsibility dan command responsibility, dimana mereka yang dianggap bertanggung jawab pidana secara individu tidak hanya orang yang melakukan tapi juga yang memerintahkan melakukan tindak kejahatan ICTY pula yang memperkenalkan praktek penerapan command responsibility dalam pengadilan pidana. Pengadilan internasional lainnya, yaitu Pengadilan Internasional untuk Rwanda International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR yang dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB no. S/RES/955 tahun 1994, dalam statutanya menyatakan bahwa lingkup kewenangan pengadilan tersebut adalah mengadili mereka yang bertanggung tindak kejahatan internasional yang masuk dalam yurisdiksi ICTR ini adalah genosida pasal 2; kejahatan terhadap kemanusiaan pasal 3; dan pelanggaran pasal 3 seluruh Konvensi-konvensi Geneva 1949 beserta Protokol tambahan II tahun 1977 pasal 4. Berikutnya pada tahun 1994, Draft Statute for an International Criminal Court, yang menjadi cikal bakal Statuta Roma, yang juga merupakan hasil kerja International Law Commission, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tindak kejahatan internasional dan akan berada dalam yurisdiksi pengadilan pidana internasional adalah kejahatan Genosida, Kejahatan agresi, pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku saat pertikaian bersenjata, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan perjanjian yang merupakan tindak kejahatan yang sangat serius yang bersifat internasional. Ketika Statute for an International Criminal Court Statuta Mahkamah Pidana Internasional yang kemudian lebih dikenal sebagai Statuta Roma akhirnya disepakati dalam International Diplomatic Conference di Roma pada tanggal 17 Juli 1998 disebutkan tindak-tindak kejahatan internasional adalah “kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan” yaitu genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Sumbangan penting lain dari Statuta Roma ini adalah pencantuman secara eksplisit bahwa kejahatan yang berupa serangan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Beberapa tindakan yang dapat dimasukkan dalam dua kategori ini adalah perkosaan, perbudakan seksual, prostitusi yang dipaksakan, kehamilan yang dipaksakan, sterilisasi yang dipaksakan, atau bentuk lain dari kekerasan seksual yang memiliki bobot yang setara equal gravity pasal 7 ayat 8 ayat 8 ayat Pencantuman secara detail dan eksplisit tindakan kejahatan seksual ini dalam yurisdiksi Mahkamah, merupakan sebuah penguatan yang kritis bahwa perkosaan dan bentuk serangan seksual lainnya dalam situasi tertentu merupakan tindak kejahatan paling serius yang menjadi perhatian internasional. Related Articles CSR & HAM CSR Risk Check Relasi Bisnis dan HAM Peran NHRIs dalam Menjamin Penghormatan HAM Partai Politik Alternatif dan Pemilu Konsolidasi Gerakan Sosial, Saatnya Rakyat Membangun Partai Politik Alternatif Menakar Kemungkinan Membangun Partai Politik Alternatif
9 BKBH (Biro Konsultasi dan Bantuan Hukum) Perguruan Tinggi. 10. KONTRAS (Komisi Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) 1. POLRI (Kepolisian Negara Republik Indonesia) Dasar hukum dari Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) menjadi salah satu lembaga perlindungan HAM yaitu Undang-Undang No. 2 Tahun 2002.
- Perserikatan Bangsa-Bangsa atau disingkat PBB adalah organisasi terbesar di dunia yang membawahi total 193 negara. PBB memiliki beberapa organ utama. Salah satunya adalah Mahkamah Internasional. Sebagai organ PBB, pelaksanaan tugas Mahkamah Internasional sejalan dengan tujuan PBB yang sudah ditentukan dalam Piagam, yaitu menjaga perdamaian dan keamanan apa tugas Mahkamah Internasional PBB? Baca juga Tujuan PBB, Organisasi Internasional Terbesar di Dunia Menyelesaikan sengketa internasional Mahkamah Internasional atau International Court of Justice adalah lembaga kehakiman Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB yang bertempat di Den Haag, peradilan ini didirikan pada 1945 berdasarkan Piagam PBB. Didirikannya Mahkamah Internasional adalah untuk menggantikan peradilan yang sebelumnya dibentuk, yaitu Permanent International Court of Justice. Permanent International Court of Justice pada masa itu diakui sebagai suatu peradilan yang memiliki peranan penting untuk menyelesaikan masalah sengketa internasional. Akan tetapi, setelah Perang Dunia II pecah, kegiatan-kegiatan yang dilakukan Permanent International Court of Justice berhenti dan pada akhirnya lembaga ini bubar. Setelah vakum selama tiga tahun, pada 1942, Menteri Amerika Serikat dan Inggris saat itu sepakat untuk mengaktifkan kembali lembaga sejenis seperti Permanent International Court of Justice. Lembagaini dibentuk oleh masyarakat internasional. Adapun yang termasuk ke dalam lembaga swadaya ini yakni Non Governmental Organizations (NGOs). LSM internasional ini ikut bersama badan-badan HAM di PBB dalam memantau kasus-kasus pelanggaran HAM, sekaligus juga membantu mengkritisi kinerja Badan-badan HAM bentukan PBB. 2. Lembaga perlindungan - Mahkamah Pidana Internasional merupakan badan peradilan internasional, yang sifatnya permanen dan memiliki sejumlah kewenangan tertentu. Didirikan untuk mengadili beberapa jenis tindak pidana internasional. Mahkamah Pidana Internasional termasuk peradilan internasional HAM. Mahkamah Pidana Internasional dibentuk berdasarkan Statuta Roma 2002. Dalam statuta tersebut dijelaskan yurisdiksi tindak pidana yang menjadi kewenangan badan peradilan ini. Apa itu Mahkamah Pidana Internasional? Melansir dari situs Ask DAG! – United Nations, International Criminal Court ICC merupakan badan peradilan internasional yang bersifat independen, dengan yurisdiksi atas orang yang didakwa melakukan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, serta kejahatan perang. International Criminal Court tidak berafiliasi dengan PBB Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena ICC adalah badan peradilan independen. Selain itu, ICC juga tidak memihak kelompok atau negara tertentu. Baca juga Kebijakan Perdagangan Internasional Bidang Ekspor dan Impor Sebelum mengadili sebuah kasus tindak pidana, International Criminal Court ICC akan menyerahkan kasus tersebut ke Pengadilan Nasional suatu negara. Hal ini dilakukan supaya Pengadilan Nasional tidak merasa jika kewenangannya dalam mengadili pelaku dilanggar oleh Didi Prasatya dalam jurnal Eksistensi Mahkamah Pidana Internasional dalam Penyelesaian Kasus Tindak Pidana Terorisme 2013, ICC baru bisa menjalankan fungsinya, jika Pengadilan Nasional tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik. Artinya ketika ada pelaku tindak pidana internasional yang harus diadili, namun Pengadilan Nasional di negara pelaku tidak mau mengadili, serta tidak mampu, barulah Mahkamah Pidana Internasional dapat menjalankan fungsinya. Hukum dalam Makhkamah Pidana Internasional Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 Statuta Roma 2002, Mahkamah Pidana Internasional mempunyai yurisdiksi yang akan terbatas pada kejahatan paling serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional. Yurisdiksi tersebut adalah Kejahatan genosida Kejahatan terhadap kemanusiaan Kejahatan perang Kejahatan agresi Baca juga Mengenal Selat Dardanella sebagai Perairan Internasional Selanjutnya dalam Pasal 12 Statuta Roma 2002, dijelaskan jika Mahkamah Pidana Internasional hanya memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi di wilayah negara pihak Statuta Roma 2002, atau kejahatan yang dilakukan pelaku di negara pihak Statuta Roma 2002. Dalam jurnal Analisis Yuridis Pertanggungjawaban Pemimpin Negara terkait dengan Kejahatan Perang dan Upaya Mengadili Oleh Mahkamah Pidana Internasional 2019 karya Ida Ayu Kade Ngurah Anggreni, dkk, disebutkan ada dua prinsip pemberlakuan yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional, yakni Ketidakinginan unwillingArtinya ketidakinginan suatu negara untuk mengadili kejahatan di wilayahnya. Sehingga menyebabkan Mahkamah Pidana Internasional ikut campur tangan untuk menegakkan keadilan. Ketidakmampuan inabilityArtinya ketidakmampuan negara untuk memperoleh terdakwa, tidak memperoleh bukti yang diperlukan beserta kesaksian orang yang diduga bertanggung jawab atas tindak pidana, dan tidak mampu melaksanakan proses peradilan. Atas dua hal inilah, Mahkamah Pidana Internasional berdasarkan yurisdiksinya bisa menangani serta mengadili kasus tindak pidana internasional. Baca juga Asas-Asas Hubungan Internasional Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
\n\n\n \nlembaga pbb yang berwenang mengadili pelanggaran ham internasional adalah
Pelaksanakedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat.[26] orang mudah menerima ide untuk meratifikasi semua konvensi internasional yang menyangkut hak asasi manusia, karena tokh penerapannya di lapangan
Sistem Peradilan Internasional – Dalam hubungannya dengan peradilan internasional, komponen peradilan itu yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan dalam rangka mencapai keadilan internasional. Komponen-komponen tersebut meliputi mahkamah internasional the international court of justice, mahkamah pidana internasional the international criminal court, dan panel khusus dan spesial pidana internasional the international criminal tribunals and special courts. Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan organ utama lembaga kehakiman PBB yang berkedudukan di Den Haag, Belanda. Mahkamah itu didirikan pada tahun 1945 berdasarkan piagam PBB. Dalam piagam itu ditetapkan kedudukan dan wewenang mahkamah internasional yang merupakan bagian integral dari piagam PBB. Kedudukan Mahkamah Internasional Mahkamah internasional merupakan salah satu organ utama Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai organ utama, mahkamah internasional bertugas untuk mencapai tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sebagai organ utama, Mahkamah Internasional bekerja sama dan saling membantu dengan organ-organ lain dari PBB. Mahkamah Internasional merupakan sarana peradilan bagi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa Negara bukan anggota PBB, untuk kasus tertentu, juga dapat berperkara di hadapan mahkamah internasional setelah memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh majelis umum dan atas rekomendasi Dewan Keamanan. Komposisi Mahkamah Internasional Dalam pasal 9 statuta mahkamah internasional dijelaskan bahwa komposisi mahkamah internasional terdiri atas 15 orang hakim, dengan masa jabatan 9 tahun. Ke-15 calon hakim tersebut direkrut dari warga negara anggota yang dinilai cakap di bidang hukum internasional. Dari daftar calon hakim ini, majelis umum dan dewan keamanan secara independen melakukan pemungutan suara untuk memilih anggota mahkamah internasional. Para calon yang memperoleh suara terbanyak terpilih menjadi hakim mahkamah internasional. Biasanya lima hakim mahkamah internasional berada dari negara anggota tetap Dewan Keamanan PBB Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Cina, dan Rusia. Di samping 15 hakim tetap, pasal 32 statuta mahkamah internasional memungkinkan dibentuknya hakim ad hoc yang terdiri atas dua orang hakim yang diusulkan oleh negara yang bersengketa. Kedua hakim ad hoc tersebut bersama-sama dengan ke-15 hakim tetap, memeriksa dan memutuskan perkara yang disidangkan. Fungsi Utama Mahkamah Internasional Fungsi utama mahkamah internasional adalah menyelesaikan kasus-kasus persengketaan internasional yang subjeknya adalah negara. Dalam pasal 34 statuta Mahkamah internasional dinyatakan bahwa yang boleh beracara di Mahkamah Internasional adalah subjek hukum negara only states may be parties Indonesia cases before the court. Ada tiga kategori negara menurut statute ini, yaitu sebagai berikut. Negara anggota PBB berdasarkan pasal 35 ayat 1 statuta mahkamah internasional dan pasal 93 ayat 1 piagam PBB, otomatis memiliki hak untuk beracara di mahkamah internasional. Negara bukan anggota PBB yang menjadi anggota statute mahkamah internasional, dapat beracara di mahkamah internasional apabila telah memenuhi persyaratan yang diberikan oleh dewan keamanan PBB atas dasar pertimbangan majelis umum PBB, yakni bersedia menerima ketentuan dari statute mahkamah internasional piagam PBB pasal 94 dan segala ketentuan berkenaan dengan mahkamah internasional. Negara bukan anggota statute mahkamah internasional, kategori-kategori ini diharuskan membuat deklarasi bahwa akan tunduk pada semua ketentuan mahkamah internasional dan piagam PBB pasal 94. Yurisdiksi Mahkamah Internasional Yurisdiksi adalah kewenangan yang dimiliki oleh mahkamah internasional yang bersumber pada hukum internasional untuk menentukan dan menegakkan sebuah aturan hukum. Yurisdiksi mahkamah internasional ini meliputi kewenangan untuk memutuskan perkara-perkara pertikaian contentious case; memberikan opini-opini yang bersifat nasihat advisory opinion. Yurisdiksi menjadi dasar mahkamah internasional dalam menyelesaikan sengketa internasional. Para pihak yang akan beracara di mahkamah internasional wajib untuk menerima yurisdiksi mahkamah internasional. Terdapat beberapa kemungkinan cara penerimaan tersebut, yakni dalam bentuk berikut. Perjanjian khusus, adalah bahwa para pihak yang bersengketa menyerahkan perjanjian khusus yang berisi subjek sengketa dan pihak yang bersengketa. Contohnya adalah kasus sengketa Pulau Ligitan dan Sipadan antara Indonesia dan Malaysia. Penundukan diri dalam perjanjian internasional, adalah bahwa para pihak telah menundukkan diri pada yurisdiksi mahkamah internasional sebagaimana yang terdapat dalam isi perjanjian internasional di antara mereka. Ketentuan tersebut mewajibkan peserta perjanjian untuk tunduk kepada yurisdiksi mahkamah internasional jika terjadi sengketa di antara para peserta perjanjian. Pernyataan penundukan diri negara peserta statuta Mahkamah Internasional, adalah bahwa negara yang menjadi anggota statuta Mahkamah internasional yang akan beracara di Mahkamah Internasional menyatakan diri untuk tunduk pada Mahkamah Internasional. Mereka tidak perlu membuat perjanjian khusus terlebih dahulu. Putusan Mahkamah Internasional mengenai yurisdiksinya, dapat diterangkan bahwa ketika terdapat sengketa mengenai yurisdiksi Mahkamah Internasional, sengketa tersebut dapat diselesaikan melalui keputusan mahkamah internasional sendiri. Di sini para pihak dapat mengajukan keberatan awal terhadap yurisdiksi mahkamah internasional. Penafsiran putusan, didasarkan pada pasal 60 statuta mahkmah internasional, yang mengharuskan Mahkamah Internasional memberikan penafsiran jika diminta oleh salah satu atau kedua belah pihak yang beracara. Permintaan penafsiran dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian khusus antarpara pihak yang bersengketa. Perbaikan putusan, dapat dijelaskan bahwa penundukan diri pada yurisdiksi Mahkamah Internasional dilakukan melalui pengajuan permintaan. Syaratnya adalah adanya fakta baru novum yang belum diketahui Mahkamah Internasional pada saat membuat keputusan. Hal tersebut sama sekali bukan karena kesengajaan dari para pihak yang bersengketa. Mahkamah Internasional memutuskan berdasarkan hukum. Akan tetapi, Mahkamah Internasional dapat memutuskan sengketa berdasarkan kepantasan dan kebaikan apabila pihak-pihak yang bersengketa menyetujuinya. Mahkamah Pidana Internasional Mahkamah pidana internasional berdiri permanen berdasarkan traktat multilateral. Tujuan mahkamah pidana internasional adalah untuk mewujudkan supremasi hukum internasional dan memastikan bahwa pelaku kejahatan berat internasional dipidana. Mahkamah pidana internasional dibentuk berdasarkan statuta Roma pada tanggal 17 Juli 1998 dan disahkan pada tanggal 1 Juli 2002. Tiga tahun kemudian, yakni pada tanggal 1 Juli 2005 statuta mahkamah pidana internasional telah diterima dan diratifikasi oleh 99 negara. Mahkamah pidana internasional berkedudukan di Den Haag, Belanda. Komposisi Pada awalnya mahkamah pidana internasional terdiri atas delapan belas orang hakim dengan masa jabatan sembilan tahun tanpa dapat dipilih kembali. Para hakim dipilih berdasarkan dua pertiga suara majelis negara pihak, terdiri atas negara-negara yang telah meratifikasi statuta ini pasal 36 ayat 6 dan 9. Paling tidak setengah dari mereka berkompeten di bidang hukum pidana dan acara pidana, sementara paling tidak, yang lainnya memiliki kompetensi di bidang hukum internasional, seperti hukum humaniter internasional dan hukum HAM Internasional pasal 36 ayat 5. Dalam pasal 36 ayat 8 dikatakan bahwa dalam memilih para hakim, negara pihak negara peserta/anggota harus memperhitungkan perlunya perwakilan berdasarkan prinsip-prinsip sistem hukum di dunia, keseimbangan geografis, dan keseimbangan jender. Dalam pasal 39 para hakim tersebut akan disebar dalam tiga bagian yakni praperadilan, peradilan, dan peradilan banding. Pasal 42 ayat 4 menjelaskan bahwa mayoritas absolut dari majelis negara pihak akan menetapkan jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dan satu atau lebih wakil jaksa penuntut dengan masa kerja sembilan tahun dan tidak dapat dipilih kembali. Dalam pasal 42 ayat 3 ditetapkan bahwa para penuntut tersebut harus mempunyai pengalaman praktik yang luas dalam penuntutan kasus-kasus pidana. Jaksa dapat bertindak atas penyerahan diri negara pihak atau Dewan Keamanan, dan dapat juga berinisiatif melakukan penyelidikan berdasarkan kehendak sendiri propio motu. Prinsip yang mendasar dari statuta nama adalah Mahkamah Pidana Internasional merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional pasal 1. Artinya, bahwa mahkamah harus mendahulukan sistem nasional. Apabila sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu dan tidak bersedia untuk melakukan penyelidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, persoalan itu dapat diambil alih di bawah yurisdiksi Mahkamah pasal 17. Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional Yurisdiksi yang dimiliki mahkamah pidana internasional untuk menegakkan aturan hukum internasional adalah memutus perkara terbatas pada pelaku kejahatan berat oleh warga negara dari negara yang telah meratifikasi statuta mahkamah. Dalam pasal 5–8 statuta Mahkamah terdapat tiga jenis kejahatan berat, yaitu sebagai berikut. Pertama adalah kejahatan genosida the crime of genocide, yakni tindakan kejahatan yang berupaya untuk memusnahkan keseluruhan atau sebagian dari suatu bangsa, etnik, ras ataupun kelompok keagamaan tertentu. Kedua adalah kejahatan terhadap kemanusiaan crimes against humanity, yakni tindakan penyerangan yang luas atau sistematis terhadap populasi penduduk sipil tertentu. Ketiga adalah kejahatan perang war crimes yakni kejahatan yang dapat diterangkan sebagai berikut. a Tindakan yang berkenaan dengan kejahatan perang, khususnya jika dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan atau sebagai bagian dari suatu pelaksanaan secara besar-besaran dari kejahatan tersebut. b Semua tindakan terhadap manusia atau hak miliknya yang bertentangan dengan Konvensi Jenewa, contohnya, pembunuhan berencana, penyiksaan, eksperimen biologis, atau menghancurkan harta benda. c Kejahatan serius yang melanggar hukum konflik bersenjata internasional. Contohnya menyerang objek-objek sipil bukan objek militer, membombardir secara mambabi buta suatu desa, atau penghuni bangunan-bangunan tertentu yang bukan objek militer. d Kejahatan agresi the crime of aggression, yakni tindak kejahatan yang berkaitan dengan ancaman terhadap perdamaian. Panel Khusus dan Spesial Pidana Internasional The International Criminal tribunals and Special Courts, ICT & SC Lembaga ini adalah lembaga peradilan internasional yang berwenang mengadili para tersangka kejahatan berat internasional yang bersifat tidak permanen, artinya setelah selesai mengadili peradilan ini dibubarkan. Dasar pembentukan dan komposisi penuntut dan hakim ad hoc ditentukan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan PBB. Yurisdiksi atau kewenangan Panel Khusus dan Spesial pidana internasional ICT & SC menyangkut tindak kejahatan perang dan genosida tanpa melihat apakah negara dari si pelaku sudah meratifikasi statuta Mahkamah Pidana Internasional atau belum. Hal ini berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional yang yurisdiksinya berdasarkan pada kepesertaan negara dalam traktat multilateral tersebut. Perbedaan antara panel khusus pidana internasional dan panel spesial pidana internasional terletak pada komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya. Pada Panel khusus pidana internasional komposisi sepenuhnya ditentukan berdasarkan ketentuann peradilan internasional. Adapun pada panel spesial pidana internasional komposisi penuntut dan hakim ad hoc-nya merupakan gabungan antara peradilan nasional dan peradilan internasional. Contoh-contoh panel khusus pidana internasional dan panel spesial pidana internasional, antara lain adalah sebagai berikut. International Criminal Tribunal for Rwanda ICTR, yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada tahun 1994. International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia ICTY, yang dibentuk pada tahun 1993. Special Court for Irag SCI Toward a Trial for Saddom Hussein and Other Top Booth Leaders. Special Court for East Timor SCET. Special Court for Leone SCSL.[pi] Tagsperadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah pengadilan, sistem peradilan internasional, pengadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah pengadilan, peradilan internasional, peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah, pengadilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida adalah, pengertian peradilan internasional, peradilan internasional permanen yang berwenang mengadili kasus kejahatan genosida
LPHAMatau Lembaga Pembela Hak-Hak Asasi Manusia adalah sebuah LSM yang bergerak di bidang advokasi pelanggaran hak asasi manusia di Indonesia.. Sejak 2003, LPHAM di pimpin oleh Ahmad Hambali seorang aktivis muda yang sebelumnya aktif di KontraS (1999-2003).. Sejarah. LPHAM yang didirikan oleh H. J. C. Princen dan Yap Thiam Hien pada 29 April 1966 sebenarnya dipersiapkan untuk menghadang upaya
Geneva – Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa seyogianya segera bertindak untuk memastikan bahwa mereka yang melakukan berbagai tindak kejahatan kejam di Burma dimintai pertanggungjawaban, kata Human Rights Watch. Dewan Keamanan PBB perlu merujuk situasi di Burma ini ke Mahkamah Pidana Internasional ICC, dan pemerintah negara-negara yang turut prihatin seharusnya segera mengajukan resolusi PBB guna membentuk suatu Mekanisme Internasional, Imparsial, dan Independen IIIM agar dapat menyelamatkan bukti dan mendampingi proses penyelidikan sebagai dasar untuk melakukan penuntutan hukum terhadap mereka yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran berat di Burma. Pada 27 Agustus 2018, tiga ahli dari Misi Pencari Fakta yang telah diberi mandat oleh PBB menerbitkan laporan yang mendokumentasikan berbagai pelanggaran oleh pasukan keamanan Burma terhadap populasi etnis Rohingya, termasuk tetapi tak terbatas kepada, pembunuhan, pemerkosaan, serta penyiksaan, dan menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan ini dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Laporan ini juga menemukan bahwa terdapat penindasan dan diskriminasi yang sistematis sehingga termasuk dalam kategori persekusi, dan juga dapat digolongkan sebagai apartheid. Laporan ini juga menyimpulkan bahwa ada informasi memadai untuk menyelidiki para pejabat tinggi militer untuk menentukan apakah mereka bersalah atas tindak kejahatan genosida, dan mencantumkan nama enam komandan senior. Laporan ini juga menjabarkan berbagai pelanggaran yang dilakukan para militan Rohingya serta menyerukan agar mereka turut diadili. “Laporan bernas dari tim Misi Pencari Fakta serta sejumlah rekomendasi gamblang ini menunjukkan adanya kebutuhan nyata untuk mengambil langkah konkret demi memajukan peradilan pidana bagi tindak-tindak kejahatan keji, alih-alih menyuarakan kecaman dan ekspresi keprihatinan yang hampa belaka,” ujar Brad Adams, direktur Human Rights Watch untuk kawasan Asia. “Negara-negara anggota PBB seyogianya meningkatkan sejumlah upaya antara lain membentuk Mekanisme Internasional, Imparsial, dan Independen untuk memastikan bahwa mereka yang bertanggung jawab atas berbagai kejahatan berat tidak bebas dari proses peradilan.” Laporan setebal 20 halaman ini memuat temuan-temuan utama berdasarkan 847 wawancara, pencitraan satelit, dokumen-dokumen asli, sejumlah foto, dan video, serta melaporkan berbagai pelanggaran serius di Negara Bagian Rakhine, Shan, dan Kachine sejak 2011 hingga sekarang. Selain kejahatan-kejahatan yang didokumentasikan di Negara Bagian Rakhine, Misi Pencari Fakta menemukan bahwa kejahatan kemanusiaan dan kejahatan perang juga dilakukan oleh militer Burma di Negara Bagian Shan dan Kachin. Laporan ini juga merinci berbagai pelanggaran yang dilakukan kelompok-kelompok etnis bersenjata yang dapat digolongkan sebagai kejahatan perang. Laporan ini menyimpulkan bahwa pelanggaran-pelanggaran yang terjadi mencerminkan pola perilaku yang sudah lama dilakukan oleh aparat militer Burma dan menekankan perlunya mengakhiri siklus impunitas. Laporan ini mengimbau Mahkamah Pidana Internasional ICC untuk menggelar investigasi dan mengadili kasus-kasus dan mengusulkan kemungkinan pembentukan pengadilan khusus oleh Dewan Keamanan PBB, mirip dengan pengadilan yang dibentuk untuk mengadili pelanggaran-pelanggaran berat yang dilakukan di bekas Yugoslavia. Laporan ini juga memuat nama enam pejabat tinggi militer, termasuk Jend. Sen. Min Aung Hlaing, sebagai salah satu pihak yang bertanggung jawab atas “kegagalan untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dan wajar demi mencegah dan menghukum tindak kejahatan, dan terdapat hubungan sebab akibat antara kegagalan-kegagalan ini dengan tindak kejahatan yang dilakukan.” Laporan ini menemukan bahwa meski pejabat sipil tak memiliki kewenangan untuk mengendalikan militer, mereka tetap berkontribusi melakukan kejahatan melalui berbagai tindakan dan kelalaian mereka. Laporan ini juga merekomendasikan agar negara-negara anggota PBB segera membentuk Mekanisme Internasional, Independen, dan Imparsial – serupa dengan IIIM Suriah – untuk mengumpulkan, mengevaluasi, dan menyimpan alat bukti guna membantu penyidikan dan penuntutan pidana terhadap kasus-kasus kejahatan yang dilakukan di Burma, termasuk oleh negara ketiga dengan menggunakan hukum yurisdiksi universal mereka. Mekanisme seperti ini seyogianya diberi mandat untuk mempertimbangkan tindakan-tindakan kejahatan hingga sekurang-kurangnya 2011, yakni periode waktu utama yang diliput dalam laporan Misi Pencari Fakta, menurut Human Rights Watch. Human Rights Watch telah mengimbau Dewan Keamanan PBB dan sejumlah negara yang prihatin terhadap situasi ini untuk memberlakukan embargo senjata dan sanksi khusus, termasuk larangan bepergian dan pembekuan aset, terhadap para komandan militer Burma yang terlibat dalam pelanggaran, dan merujuk situasi ini ke Mahkamah Pidana Internasional ICC. Secara terpisah, hakim-hakim di ICC sedang mempertimbangkan apakah mahkamah itu memiliki yurisdiksi terhadap pejabat tinggi Burma yang memaksa pengungsi Rohingya untuk melarikan diri ke Bangladesh, yang merupakan negara anggota ICC, sehingga termasuk ke dalam tindak kejahatan kemanusiaan dalam bentuk deportasi paksa. Sejak kampanye pembersihan etnis oleh militer Burma dimulai Agustus lalu, negara-negara dan lembaga multilateral – termasuk Amerika Serikat, Kanada, dan Uni Eropa – telah memberlakukan larangan bepergian dan sanksi keuangan terhadap sejumlah komandan dan unit pasukan keamanan Burma, serta beberapa individu yang terlibat dalam pelanggaran kejam, yang sebagian besar terjadi di Negara Bagian Rakhine. Meski sanksi-sanksi yang telah diterapkan ini penting, mereka tak dapat menggantikan penuntutan hukum di hadapan pengadilan yang kredibel, imparsial, dan independen, menurut Human Rights Watch. Dewan Hak Asasi Manusia PBB membentuk Misi Pencari Fakta PBB untuk urusan Burma pada Maret 2017 dikarenakan adanya tuduhan yang kredibel dan serius bahwa pelanggaran hak asasi manusia telah terjadi pada akhir 2016. Mandat misi ini adalah untuk “menetapkan fakta, peristiwa, dan situasi yang runut mengenai dugaan pelanggaran hak asasi manusia oleh pasukan militer dan keamanan, serta pelanggaran-pelanggaran lainnya, di Burma [...] dengan tujuan untuk memastikan akuntabilitas sepenuhnya bagi para pelaku dan keadilan bagi para korban.” Mandat tersebut kemudian diperpanjang setelah adanya pelanggaran meluas yang dimulai pada 25 Agustus 2017. Pemerintah Burma menolak untuk bekerja sama dengan Misi Pencari Fakta dan menolak memberi akses masuk kepada para ahli berikut staf mereka. “Sejauh ini, kecaman tanpa aksi nyata oleh negara-negara anggota PBB hanya memuluskan budaya kekerasan dan penindasan di Burma,” ujar Adams. “Laporan ini semestinya menghapuskan segala keraguan tentang pentingnya menyelidiki mereka yang bertanggung jawab untuk kejahatan massal. Sekarang waktunya untuk bertindak.” Latar Belakang Laporan Misi Pencari Fakta ini diterbitkan setahun setelah serangkaian serangan tanggal 25 Agustus 2017 oleh para tentara militan dari Tentara Pembebasan Rohingya Arakan ARSA, yang disusul dengan kampanye pembersihan etnis, pembunuhan, pemerkosaan, dan pembakaran massal yang dilakukan oleh pasukan keamanan Burma terhadap warga Rohingya. Human Rights Watch menemukan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut dapat digolongkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sejak Agustus 2017, lebih dari warga beretnis Rohingya telah melarikan diri ke Bangladesh, tempat 1 juta pengungsi Rohingya kini hidup di tenda-tenda kumuh, sesak, dan rawan banjir. Para pejabat PBB sebelumnya telah menyebutkan bahwa pelanggaran-pelanggaran di atas merupakan kejahatan kemanusiaan dan mengatakan bahwa pelanggaran-pelanggaran tersebut memiliki “tanda-tanda genosida.” Saat rangkaian operasi militer dimulai Agustus lalu, 362 desa-desa mayoritas warga Rohingya di wilayah utara Negara Bagian Rakhine telah sepenuhnya atau sebagian dihancurkan dengan pembakaran. Human Rights Watch mendokumentasikan penghancuran total maupun sebagian tersebut sejak November terhadap sedikitnya 60 desa-desa yang sebelumnya ditinggali oleh warga Rohingya, dengan demikian turut menghancurkan bukti-bukti kejahatan yang ada. Pada 2018, pengungsi Rohingya kembali melarikan diri ke Bangladesh, menambah daftar panjang represi yang dilakukan oleh aparat Burma. Human Rights Watch mendokumentasikan penyiksaan terhadap para pengungsi Rohingya yang telah kembali dari Bangladesh. Human Rights Watch, PBB, dan organisasi-organisasi lainnya selama bertahun-tahun telah mendokumentasikan berbagai pelanggaran hak asasi manusia di Negara Bagian Shan dan Kachin. Pertempuran meningkat di wilayah timur laut Burma dalam beberapa tahun terakhir dengan macetnya perjanjian gencatan senjata antara pihak pemerintah dan berbagai kelompok etnis bersenjata lainnya. Warga sipil yang telantar dan pelanggaran terhadap hukum perang kerap dilaporkan.
adhoc untuk pelanggaran HAM masa lalu sebelum adanya undang-undang ini; 2. Kedua adalah pengadilan HAM yang sifatnya permanen terhadap kasus setelah terbentuknya UU No. 26 Tahun 2000; 3. Ketiga adalah dibukanya jalan mekanisme komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang berat.
Apakah negara yang tidak meratifikasi sebuah perjanjian internasional bidang HAM boleh melakukan pelaporan ke Pelaporan Khusus HAM di PBB? Intisari Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Yakni mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Yakni prosedur penegakan HAM yang dibentuk berdasarkan Piagam PBB serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial ECOSOC. Berdasarkan 2 dua mekanisme tersebut, jika suatu negara tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Bagaimana mekanismenya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. Ulasan Terima kasih atas pertanyaan Anda. Hak Asasi Manusia Berdasarkan Undang-Undang dan Piagam PBB Pada hakikatnya Hak Asasi Manusia “HAM” merupakan hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai hak yang kodrati. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia “UU HAM” mengatakan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-nya yang wajib di hormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan ahrkat dan martabat manusia. Oleh karenanya, tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Hak ini sifatnya sangat mendasar dan fundamental bagi kehidupan manusia, serta menjadi kewajiban dan tanggung jawab bersama antara individu, Pemerintah, bahkan Negara untuk menghormati, melindungi, dan menjunjung tinggi HAM. Perserikatan Bangsa-Bangsa “PBB” memegang peran yang sangat penting dalam rangka memajukan dan melindungi HAM. Perlindungan HAM bahkan menjadi salah satu tujuan PBB sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat 3 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa “Piagam PBB” sebagai berikut Untuk mencapai kerja sama internasional dalam menyelesaikan permasalahan internasional di bidang ekonomi, sosial, kebudayaan atau kemanusiaan dan dalam memajukan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar untuk semua tanpa pembedaan mengenai ras, jenis kelamin, bahasa atau agama. Mekanisme Pelaporan HAM Internasional Dalam hal terjadi pelanggaran HAM Internasional, PBB telah mengakomodir mekanisme pelaporan yang dibedakan menjadi 2 dua mekanisme sebagai berikut a. Mekanisme berdasarkan Perjanjian HAM internasional The Treaty Based Mechanism Treaty Based Mechanism adalah mekanisme pengaduan yang dibentuk berdasarkan perjanjian atau konvensi HAM Internasional. Perjanjian internasional ini hanya berlaku dan mengikat bagi negara yang telah menandatangani dan meratifikasi perjanjian terkait. Contohnya, pengajuan laporan kepada Human Rights Comittee “HRC” yang pembentukannya didasarkan pada International Convenant on Civil and Political Rights “ICCPR” 1976 yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik. b. Mekanisme berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism Charter Based Mechanism adalah prosedur penegakan HAM yang tidak dibentuk oleh konvensi-konvensi HAM akan tetapi berdasarkan Piagam PBB sebagaimana dimandatkan dalam Pasal 55 dan Pasal 56 Piagam PBB antara lain tentang tujuan PBB memajukan pemecahan masalah-masalah internasional dan penghormatan HAM seantero jagad serta kebebasan-kebebasan dasar bagi semua, serta mandat yang dimiliki oleh Dewan Ekonomi dan Sosial “ECOSOC” yang antara lain adalah “.... Mendorong penghormatan universal dan diterapkannya hak asasi dan kebebasan dasar manusia.” Mekanisme pelaporan ini dapat dilakukan seluruh negara anggota, orang, kelompok masyarakat atau organisasi non-pemerintahan apabila mempunyai pengetahuan langsung atau tidak langsung mengenai dugaan pelanggaran, meskipun tidak mendatangani dan meratifikasi perjanjian HAM internasional. Berdasarkan 2 dua mekanisme di atas, jika negara yang Anda maksud tidak meratifikasi perjanjian internasional di bidang HAM, maka negara tersebut hanya dapat melakukan pelaporan dengan mekanisme kedua, yaitu berdasarkan Piagam PBB The Charter Based Mechanism. Pada pembahasan ini kami akan menjelaskan mengenai mekanisme pelaporan HAM berdasarkan Piagam PBB. Mekanisme pelaporan berdasarkan Piagam PBB dilakukan melalui Dewan Hak Asasi Manusia dahulu Komisi Hak Asasi Manusia dan subdivisi-subdivisi di bawah Dewan, serta dua mekanisme yang dibentuk menurut Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 sebagai berikut Mekanisme Pelaporan HAM Berdasarkan Piagam PBB a. Dewan HAM PBB Dewan HAM adalah badan PBB yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum 60/251 tertanggal 15 Maret 2006 sebagai bagian pembaruan untuk memperkuat kegiatan perlindungan HAM PBB. Mekanisme pelaporan sekaligus kepada Dewan HAM PBB dapat dilakukan melalui Prosedur Khusus, Kelompok Kerja, dan Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM. - Prosedur Khusus Tugas kerja dari prosedur khusus adalah sebagai mekanisme pencarian fakta dan investigasi, mengadakan kunjungan ke negara yang tertentu, dan menjalankan misi pencarian fakta dengan menerima laporan langsung dari masyarakat umum. Laporan investigasi disampaikan kepada Dewan HAM yang kemudian akan digunakan sebagai dasar perdebatan politik dan resolusi. - Kelompok Kerja Kelompok kerja terbuka untuk partisipasi semua negara dan organisasi non pemerintah. Kegiatan kelompok kerja bercirikan perdebatan, diskusi, serta pembuatan rekomendasi atas dugaan pelanggaran HAM, yang hasilnya akan disampaikan kepada Dewan HAM. - Sub Dewan tentang Pemajuan dan Perlindungan HAM Subkomisi tersebut mempunyai mandat untuk melakukan penelitian, membuat rekomendasi, berpartisipasi dalam pembuatan konvensi dan mekanisme-mekanisme HAM, menerima laporan, dan memeriksa dugaan pelanggaran HAM. b. Prosedur 1235 dan Prosedur 1503 ECOSOC memberikan kewenangan dalam bidang HAM kepada Dewan HAM PBB dengan mengadopsi dua prosedur yaitu melalui Resolusi 1235 XLII tertanggal 6 Juni 1967 dan Resolusi 1503 XLVIII tertanggal 27 Mei 1970. Melalui Prosedur 1235, Dewan HAM diberikan kuasa untuk melakukan pemeriksaan keterangan yang relevan terkait pelanggaran HAM yang diterima dari perseorangan, organisasi non pemerintah, dan negara sebagaimana dimuat dalam surat pengaduan yang didaftar oleh Sekretaris Jendral, kemudian melakukan studi terhadap pola pelanggaran HAM tersebut. Pada dasarnya Prosedur 1235 bukanlah prosedur pengaduan individual. Dalam hal pelaporan diajukan oleh individual, maka Dewan HAM akan mengarahkan informasi pelanggaran HAM pada survei umum negara yang bersangkutan. Sementara, Prosedur 1503 disusun sebagai prosedur pengaduan individual. Dewan HAM diberi kewenangan untuk mempelajari secara konfidensial komunikasi individual. Komunikasi dari korban, dan organisasi non pemerintah yang telah melewati pengujian dan diterima oleh Sekretaris Jenderal. Philip Alston, sebagaimana dikutip oleh Pranoto Iskandar dalam bukunya Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar hal. 345 menyebut Prosedur 1503 sebagai “petition-information” bukan “petition-redress”, dikarenakan ketiadaan ganti rugi kepada pihak korban. Dengan kata lain, prosedur ini hanya bersifat informatif kepada masyarakat internasional bahwa telah terjadi pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara tertentu. Oleh karenanya, sanksi yang paling dimungkinkan adalah sebatas timbulnya rasa malu “shaming” bagi negara pelanggar, sebab pelanggaran akan dibahas dalam diskusi yang berifat terbuka. Berdasarkan penjelasan di atas, maka negara yang tidak meratifikasi sebuah Perjanjian Internasional dalam bidang HAM tetap dapat melakukan pelaporan khusus HAM di PBB melalui mekanisme Piagam PBB The Charter Based Mechanism yaitu melalui Dewan HAM PBB, Prosedur 1235 maupun Prosedur 1503. Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat. Dasar hukum 1. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant On Civil And Political Rights Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik; 2. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; 3. Resolusi 1235 XLII Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia dan Kebebasan Dasar, termasuk Kebijakan-kebijakan Diskriminasi Rasial dan Pemisahan Rasial dan Apartheid; 4. Resolusi 1503 XLVIII Prosedur untuk Menangani Surat Pengaduan tentang Pelanggaran Hak-hak Asasi Manusia. Referensi 1. ELSAM, Instrumen Hak Asasi Manusia dan Konsep Tanggung Jawab Negara, diakses pada 30 Juni 2017 pukul WIB; 2. Pranoto Iskandar, 2012, Hukum HAM Internasional Sebuah Pengantar, IMR Press Cianjur.
04FTeb5.
  • 240nh40jtq.pages.dev/352
  • 240nh40jtq.pages.dev/92
  • 240nh40jtq.pages.dev/379
  • 240nh40jtq.pages.dev/99
  • 240nh40jtq.pages.dev/104
  • 240nh40jtq.pages.dev/39
  • 240nh40jtq.pages.dev/364
  • 240nh40jtq.pages.dev/68
  • 240nh40jtq.pages.dev/192
  • lembaga pbb yang berwenang mengadili pelanggaran ham internasional adalah